PIJAR | JAKARTA – Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna H Laoly mengungkap alasan pemerintah memasukkan konten presiden dalam Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Saya kira menjadi sangat liberal kalau tidak mengizinkan presiden). Enggak bisa kalau sebebas- bebasnya, itu bukan kebebasan, itu anarki,” ujar Menteri Yasonna saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu (9/6/2021 ).
“Harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang berkeadaban,” sambungnya.
Yasonna menyatakan kritik kebijakan presiden itu dengan alasan membangun sah saja. Namun, kritik tersebut tidak boleh menyerang personal.
“Mengkritik presiden sah, sekritik-kritiknya lah, kritik kebijakannya, apanya, sehebat-hebatnya kritik. Bila perlu, tidak puas ada mekanisme konstitusional juga ada kok,” tuturnya.
Selain itu, Yasonna beralasan pasal ini berbeda dengan yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah mencoba pasal soal presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Ini berbeda dengan yang pernah dibatalkan MK. Sekarang kan delik aduan (yang dibatalkan MK delik biasa),” kata Yasonna.
Pasal presiden dan wakil presiden
tertuang dalam Pasal 218 hingga 220 RKUHP terbaru. Penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara.
Bila dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara.
Sementara itu, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal 2 tahun penjara.