PIJAR | JAKARTA – Baru-baru ini, lanskap penegakan hukum di Indonesia kembali menjadi sorotan melalui serangkaian kasus viral yang tidak hanya menarik perhatian publik, tetapi juga mengungkap kelemahan sistemik dalam sistem hukum negara. Berdasarkan analisis terhadap kasus-kasus seperti dokumenter “Dirty Vote” dan penganiayaan dokter koas di Palembang, potret buram penegakan hukum terlihat jelas, mencerminkan ketidakkonsistenan, ketergantungan pada tekanan media sosial, dan erosi kepercayaan masyarakat. Artikel ini akan menguraikan detail kasus-kasus tersebut, menganalisis fenomena “No Viral No Justice,” dan menawarkan refleksi kritis terhadap tantangan yang dihadapi.
Kasus Viral dan Respons Penegak Hukum
Kasus pertama yang menonjol adalah dokumenter “Dirty Vote,” dirilis pada 11 Februari 2024 melalui kanal YouTube resmi, yang dengan cepat menjadi viral. Dokumenter ini, disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, menyoroti dugaan kecurangan dalam pemilu 2024, termasuk penggunaan sumber daya negara oleh Presiden Joko Widodo untuk mendukung Prabowo Subianto, serta pelanggaran etika oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap keputusan Mahkamah Agung. Menurut laporan, KPU dituduh tidak mematuhi keputusan terkait representasi perempuan 30% dan nominasi mantan narapidana korupsi, tetapi respons penegak hukum terhadap tuduhan ini tampak minim, dengan tidak ada investigasi besar-besaran yang dilaporkan secara publik. Hal ini menunjukkan kurangnya akuntabilitas terhadap isu sistemik yang memengaruhi demokrasi.
Sebaliknya, kasus penganiayaan dokter koas Muhammad Luthfi di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra, Palembang, pada malam Tahun Baru, menunjukkan pola yang berbeda. Korban mengalami luka di wajah dan kepala akibat pengeroyokan oleh supir teman koas yang tidak setuju dengan jadwal piket. Menurut laporan, polisi baru mengambil tindakan serius setelah kasus ini menjadi viral di media sosial, menyoroti fenomena “No Viral No Justice,” di mana keadilan tampaknya bergantung pada perhatian publik, bukan inisiatif institusi.
Analisis Fenomena “No Viral No Justice”
Fenomena “No Viral No Justice” telah menjadi kritik tajam terhadap penegakan hukum di Indonesia, seperti dijelaskan dalam berbagai studi akademik. Penelitian menunjukkan bahwa kasus yang tidak viral sering diabaikan, sementara kasus viral memaksa polisi bertindak cepat, kadang-kadang secara reaktif dan berpotensi tidak adil. Sebagai contoh, artikel dari Komisi Yudisial menyoroti bahwa fenomena ini mencerminkan kecepatan informasi di media sosial yang memaksa pemerintah bekerja lebih tangkas, tetapi juga berisiko menciptakan penegakan hukum yang tebang pilih. Hal ini terlihat dalam kasus Vina di Cirebon, yang menjadi viral setelah difilmkan, memicu tindakan cepat polisi, berbeda dengan kasus serupa yang tidak mendapat perhatian.
Implikasi terhadap Kepercayaan Masyarakat
Ketergantungan pada viralitas untuk menegakkan hukum telah melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Seperti dijelaskan dalam artikel Medium, fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial menjadi “ruang sidang” alternatif, di mana aktivis digital menggunakan viralitas untuk memaksa perubahan, tetapi hal ini juga menciptakan ketimpangan “When Social Media Becomes the Courtroom: Unpacking ‘No Viral, No Justice’”. Publik mulai skeptis, merasa bahwa keadilan hanya berlaku untuk mereka yang mampu membuat kasusnya viral, bukan berdasarkan merit kasus itu sendiri.
Refleksi dan Harapan
Potret buram ini menyerukan reformasi mendalam dalam penegakan hukum. Sistem harus bekerja secara proaktif, transparan, dan konsisten, terlepas dari perhatian media sosial. Media massa juga perlu memainkan peran kontrol sosial yang etis, seperti disarankan oleh narasumber dalam diskusi Komisi Yudisial, untuk mengurangi tren “No Viral No Justice” dan memastikan keadilan merata. Harapan besar terletak pada kemampuan institusi hukum untuk membangun kepercayaan kembali, dengan menangani kasus berdasarkan prinsip, bukan tekanan viral.
Dengan demikian, kasus-kasus viral ini bukan hanya cerminan masalah saat ini, tetapi juga panggilan untuk perubahan sistemik agar penegakan hukum di Indonesia dapat mencerminkan keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar reaksi terhadap sorotan media.
Madsanih Manong
Pemimpin Umum/Redaksi
Pijarjakarta.Info