Pandemi Covid-19 telah melanda sejak beberapa tahun terakhir, tak hanya Indonesia, tapi juga melanda dunia. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan untuk menurunkan laju tingkat terinfeksi virus mematikan itu mulai dari aturan lockdown hingga pembatasan kegiatan masyarakat atau layanan. Hal ini tentu berdampak pada berbagai aspek kehidupan dan layanan masyarakat, tidak terkecuali layanan badan peradilan.
“Pandemi memang memaksa pengadilan-pengadilan kami berasal melakukan adaptasi dengan cepat, Banyak juga pengadilan yang diawal harus berhenti beroperasi menutup pengadilan, menghentikan proses persidangan perkara apapun. Tapi pengadilan saya dan tempat hakim Thomas, dua pengadilan kami bersikukuh ingin tetap beroperasi tetap terbuka,” ujar Hakim Superior Court King County David Keenan dalam Webinar Internasional memperingatil HUT IKAHI ke-69, Kamis (17/3/2022).
Dia mengatakan pengadilan tidak terhenti ketika pandemi muncul, namun para hakim melakukan penyesuaian dengan mempelajari penggunaan aplikasi Zoom, sehingga dalam sebulan dirinya sudah melatih hakim-hakim lain dalam penggunaan zoom agar familiar dengan teknologi video konferensi.
Di pengadilan tempatnya bekerja, David mengaku bahkan sebelum pandemi, sistem menyampaikan file elektronik untuk mengajukan gugatan atau klaimnya sudah dapat dilakukan secara elektronik. Mereka mempergunakan “E-filing” yang menjadi tempat mengajukan perkara, permohonan, melalui sarana elektronik tanpa hadir langsung ke pengadilan yang bisa diakses para pencari keadilan.
Meski begitu, terdapat satu tantangan utama yang dirasakan David bagi peradilan di Negara Bagian Washington itu. “Kami tidak memiliki sistem pengadministrasi (peradilan, red) yang seragam. Ada 39 county di negara bagian, jadi bisa dibilang ada 39 sistem yang berlainan. Belum lagi, dari sistem county ada kabupaten/kota yang memiliki sistem berbeda,” terangnya.
Selain dari kemungkinan mengajukan permohonan atau gugatan secara elektronik, bukti-bukti juga dapat diajukan secara elektronik. Dengan demikian, kata dia, mereka bisa meminimalkan bahkan menghapuskan penggunaan kertas yang menumpuk. Sebab, nanti advokat, para pihak, bisa cukup menyampaikan bukti-buktinya secara elektronik yang bisa diakses hakim.
Dia melanjutkan sistem yang dipergunakan tersedia secara komersial dan sama halnya aplikasi berbasis cloud seperti dropbox. Hal itu mempermudah pengadilan untuk tidak perlu menggunakan software baru, karena cukup membeli software komersial yang disesuaikan dengan kebutuhan dan ternyata itu cukup berfungsi efektif.
Dengan begitu, sistem peradilan ini kelebihannya cepat, berbiaya terjangkau, dan para advokat cukup familiar dengan aplikasi yang sudah ada. Itu juga memudahkan pengadilan untuk tidak harus membangun hal-hal atau sistem baru, karena sudah banyak produk komersil yang bisa digunakan secara langsung untuk membantu jalannya proses peradilan.
Disamping itu kehadiran para pihak dapat dilakukan secara virtual, Hakim Amerika Serikat (AS) itu membeberkan masih terdapat tantangan yang dihadapi Badan Peradilan AS yakni mengenai bagaimana menghadirkan system jury. “Saya tahu di Indonesia tidak menggunakan sistem jury, tapi ini menjadi tantangan bagi kami di AS. Karena di pengadilan kami menggunakan sistem jury, harus menghadirkan 12 orang awam dan tidak ada ruang yang patut di tempat pengadilan kami untuk mengakomodir 12 jury. Jadi semua jury menghadiri sidang melalui zoom,” ujarnya.
Salah satu pengalamannya, dia bercerita pernah melangsungkan sidang selama 15 hari, sekitar 80 jam melalui zoom. Dimana selama 15 hari tersebut hanya dirinya selaku hakim yang betul-betul secara fisik menduduki ruang sidang. Sedangkan penasihat hukum, saksi, berada di tempatnya masing-masing.
Lebih lanjut, melalui mekanisme peradilan elektronik ini didapati para advokat memiliki concern etis. Karena khawatir jika saksi di rumah saja, terdapat kemungkinan yang tidak diketahui bila terdapat orang lain yang hadir yang mengarahkan saksi menjawab pertanyaan yang diberikan terhadapnya.
Selain itu, bukti-bukti disajikan secara elektronik bisa dilakukan. “Barangkali muncul di benak Anda, bagaimana ketentuan bukti yang asli dan otentik kalau pendokumentasiannya semua disimpan di sistem cloud? Ketika kuasa hukum menyampaikan semua dokumen ke sistem elektronik akan dikunci, berarti tidak bisa diotak-atik atau dimodifikasi lagi. Maka dokumen yang di-upload ke sistem elektronik dianggap menjadi bukti resmi yang telah diterima.”
Dengan praktik peradilan elektonik dari wilayah hukum tersebut, David menyimpulkan setiap orang bisa mengajukan proses hukum dari awal sampai akhir tanpa hadir secara fisik sama sekali ke pengadilan. Meski baru-baru ini dia sempat memeriksa perkara dengan jury selama belasan hari yang dihadiri beberapa pihak atau advokat yang hadir dengan tetap menjaga jarak, waktu yang dibatasi, dan terkadang dibagi ke dalam dua ruangan dengan jadwal yang diatur agar dapat bertemu secara terpisah (sidang tatap muka/offline).
“Saya sudah pernah melalui 40 sidang melalui zoom dan sudah terbiasa tidak ada orang yang hadir di ruang sidang, kecuali saya sendiri. Sekarang saya jadi harus membiasakan diri lagi dengan ada orang-orang di ruang sidang saya,” tutupnya sambil tersenyum.