PIJAR|JAKARTA – Sistem Online Single Submission Risk Based Approach (OSS RBA) resmi diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada Agustus 2021 lalu. Hampir setahun sejak diluncurkan, OSS RBA masih menyisakan beberapa hambatan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah.
Hal tersebut diakui oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Menteri Investasi/Kepala BKPM), Bahlil Lahadalia. Bahlil menyebut OSS RBA belum sempurna, dan setidaknya terdapat dua persoalan menjadi hambatan dalam perizinan OSS RBA.
Dua persoalan dimaksud adalah pertama terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Pada dasarnya PBG menggantikan fungsi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam OSS RBA. Namun PBG baru bisa dikeluarkan jika pemerintah daerah (Pemda), baik provinsi maupun kota sudah mengeluarkan aturan terkait PBG.
Hingga saat ini Perda dimaksud belum tersedia di daerah. Untuk menyiasatinya. Bahlil mengatakan bahwa pemerintah yang terdiri dari Menteri Investasi/Kepala BKPM, Menteri PU, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Keuangan (Menkeu) memutuskan untuk mengerluarkan surat bersama sebagai instrument pungut karena menyangkut PAD.
“Menyangkut OSS RBA harus jujur mengatakan belum sempurna. Ada dua persoalan paling besar yakni pertama PBG. PBG ini IMB sebenarnya, diubah menjadi PBG. IMB itu akan dikeluarkan kalau sudah ada Perda di kabupaten kota dan provinsi. Tapi sekarang perda itu belum dilakukan. Untuk menyiasati itu ada surat bersama antara Menteri PU, Mendagri, Menkeu dan Menteri Investasi sebagai instrument untuk bisa memberikan pungut karena ini menyangkut PAD mereka (daerah). Jadi sekarang sudah bisa,” kata Bahlil, dalam acara Road to G20: Investment Forum “Mendorong Percepatan Investasi Berkelanjutan dan Inklusif” di kota Surakarta (Solo), Selasa (18/5).
Kedua adalah terkait Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sejauh ini, Bahlil menyebut baru RDTR/RTRW 40 kabupaten/kota yang sudah terintegrasi dengan OSS RBA. Kendala ini menjadi persoalan serius bagi kelancaran perizinan OSS RBA.
Bahlil menegaskan jika persoalan RDTR/RTRW belum diselesaikan, maka OSS RBA belum bisa berjalan secara normal. Guna mempercepat integrasi RDTR/RTRW ke OSS RBA, Menteri Investasi bersama Menteri ATR/BPN sudah membuat satu tim. Selain itu Bahlil juga mengungkapkan pihaknya membuka pengurusan perizinan secara offline jika ada pengusaha besar yang membutuhkan izin cepat dan masih terkendala di RDTR/RTRW.
“Karena baru 40 kabupaten kota yang masuk di dalam OSS. Kita harus kejar ini, selama ini enggak bisa, maka saya yakini kondisi kita belum akan normal. Nah untuk bagaimana bisa menangani ini kami dari Kementerian Investasi dan MenteriATR/BPN sudah membuat tim. Jadi kalau ada pengusaha-pengusaha besar yang membutuhkan cepat itu bisa langusng offline ke Kementerian Investasi supaya kita memberikan pelayanan khusus dan supaya mereka bisa jalan,” pungkasnya.
Sebelumnya Konsultan Easybiz Febriana Artinelli mengungkapkan bahwa kendala yang ditemukan dalam OSS Berbasis Risiko cukup beragam, salah satunya terkait RDTR. Menurutnya dalam rezim OSS Berbasis Risiko, RDTR merupakan syarat wajib untuk proses perizinan. Hal tersebut jelas diatur dalam PP No.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Setiap kepala daerah wajib mengintegrasikan RDTR ke dalam sistem OSS Berbasis Risiko dalam bentuk digital.
Pasal 53 PP 21/2021 menyatakan, Menteri dan kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal wajib mengintegrasikan RDTR KPN dalam bentuk digital ke dalam sistem OSS.
Sedangkan Pasal 103 menyatakan, Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha dilaksanakan melalur OSS dengan tahapan: a. pendaftaran; b. penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terhadap RDTR; dan c. penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Febri mengatakan sejauh ini sistem RDTR belum terintegrasi dengan OSS Berbasis Risiko. RDTR yang tersedia masih sangat terbatas dan belum lengkap. Selain itu adanya syarat RDTR dalam proses perizinan di OSS Berbasis Risiko dinilai dapat memberikan dampak terhadap sektor UMKM yang selama ini banyak menjalankan usaha dari rumah.
“RDTR itu ada tapi belum teintegrasi dengan OSS. Pemda seperti setengah hati, mungkin mereka takut ada dampak ke daerah mereka, tapi kalau tidak ada RDTR maka pelaksanaan OSS Berbasis Risiko tidak akan maksimal. Untuk RDTR ini juga memberatkan UMK, dulu di DKI Jakarta untuk UMK bisa melakukan usaha dari rumah. Tapi saat ini karena ada aturan tata ruang dan pernyataan output OSS UMK harus sesuai tata ruang sehingga pebisnis UMK protes kenapa UMK harus sesuai dengan zonasi tata ruang,” jelas Febri.