PijarJakarta.Info – Di negeri yang menjunjung Pancasila sebagai dasar berbangsa, keadilan seharusnya menjadi pilar utama. Namun, realitas pahit menunjukkan bahwa sistem peradilan kita masih dirundung bayang-bayang gelap: mafia peradilan. Fenomena ini bukan sekadar kasus sporadis, melainkan penyakit kronis yang telah menggerogoti integritas lembaga kehakiman selama puluhan tahun.
Hakim, jaksa, dan oknum aparat lainnya terlibat dalam jaringan suap, pemalsuan vonis, hingga rekayasa putusan. Hukum pun berubah menjadi komoditas mahal—hanya bisa dibeli oleh mereka yang berduit. Akibatnya, rakyat kecil menjadi korban abadi, sementara pelaku berkuasa lolos dengan vonis ringan, bahkan bebas.
Mafia peradilan, seperti didefinisikan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam buku Menyingkap Tabir Mafia Peradilan (2003), adalah jaringan kompleks yang melibatkan berbagai pihak di pengadilan untuk memanipulasi proses hukum demi keuntungan pribadi. Modusnya beragam: dari “surat sakti” untuk menunda eksekusi, pemalsuan vonis, hingga suap langsung untuk vonis lepas.
Data ICW mencatat, sejak KPK berdiri, sedikitnya 35 hakim, panitera, dan pegawai pengadilan terjerat korupsi. Fenomena ini bersifat sistemik, merusak supremasi hukum, dan menimbulkan keraguan publik terhadap lembaga seperti Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Negeri (PN).
Kasus Tabrak Lari Kompleks Grisenda: Tuntutan Ringan yang Memilukan
Salah satu ilustrasi nyata rapuhnya sistem hukum adalah kasus tabrak lari di Perumahan Taman Grisenda, RW 10, Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, pada 9 Mei 2025.
Seorang lansia berinisial S (82) sedang jogging pagi ketika ditabrak Ivon Setia Anggara (65), yang mengemudikan mobil secara ceroboh. Korban mengalami luka parah, dirawat di ICU RS Pantai Indah Kapuk (PIK), dan akhirnya meninggal dunia.
Tragedi ini seharusnya menegaskan akuntabilitas pengemudi. Namun, justru memperlihatkan kegagalan jaksa dalam menegakkan keadilan. Pada sidang tuntutan di PN Jakarta Utara, 18 September 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rakhmat hanya menuntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara—jauh di bawah maksimal 6 tahun sesuai Pasal 310 ayat (4) UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tuntutan ini bahkan dikurangi masa tahanan sementara (2 minggu) dan hanya ditambah denda Rp10 juta subsidair 6 bulan kurungan. Alasan jaksa? “Pertimbangan usia terdakwa yang lanjut.”
Keluarga korban, melalui anaknya Linda dan Haposan, meradang. “Jahat banget… Apakah hukum di negara ini sudah tidak ada keadilan?” tanya Linda sambil terisak di persidangan. Mereka juga menyoroti kurangnya itikad baik terdakwa sejak awal, bahkan pelaku tidak pernah ditahan saat penyidikan.
Kasus ini mencurigakan karena terdakwa adalah warga kompleks elit, sementara korban hanyalah lansia biasa. Apakah ada intervensi tak kasat mata dari mafia peradilan yang membuat tuntutan diringankan? Keluarga berencana mengirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto, menuntut vonis setimpal.
Bagi mereka, ini bukan sekadar soal satu nyawa yang hilang, melainkan simbol lemahnya jaksa—garda terdepan penegak hukum—yang diduga tunduk pada tekanan jaringan lebih besar.
Contoh Kasus Lain: Jaringan yang Tak Terkikis Waktu
Fenomena mafia peradilan bukan hal baru. Beberapa kasus ikonik berikut memperkuat narasi bahwa ini adalah penyakit kronis:
1. Kasus Ronald Tannur (2024–2025)
Pengusaha Gregorius Ronald Tannur awalnya divonis bebas di PN Surabaya atas kasus pembunuhan, namun kemudian dinyatakan bersalah di tingkat kasasi. Kejagung melakukan OTT terhadap tiga hakim PN Surabaya yang diduga menerima suap untuk vonis lepas.
Kasus ini terhubung dengan eks Hakim Agung Zarof Ricar (ZR), tersangka gratifikasi Rp1 triliun dari pengurusan perkara kasasi. ICW menyebutnya bukti bahwa jaringan mafia masih kuat di MA, dengan modus serupa sejak era Nurhadi (Sekretaris MA, terjerat korupsi 2017).
2. Suap Hakim Kasus Korupsi Minyak Goreng (2025)
Empat hakim PN Jakarta Selatan, termasuk Ketua PN Muhammad Arif Nuryanta, ditangkap Kejagung karena dugaan suap untuk vonis lepas tiga korporasi pengekspor CPO (Permata Hijau Group, Wilmar Group, Musim Mas Group).
Vonis ontslag diberikan 19 Maret 2025, meski bukti kerugian negara mencapai triliunan rupiah. ICW menyoroti kolusi mafia peradilan dengan oligarki sawit, yang melindungi kepentingan korporasi besar sementara rakyat menanggung inflasi harga minyak goreng.
3. Kasus Nurhadi dan Pattihalalo (2017)
Mantan Sekretaris MA Nurhadi dan ajudannya Apipional H. Pattihalalo divonis 8 tahun penjara oleh KPK atas korupsi Rp1 miliar dari pengurusan perkara.
Kasus ini membuka tabir bahwa mafia peradilan bukan fiksi, melainkan realitas sistemik yang melibatkan sedikitnya 35 oknum hakim sejak 2003.
Kasus-kasus ini, seperti dianalisis Ombudsman dan UKP4, menunjukkan pola berulang: korupsi kronis, pengawasan lemah, dan budaya “uang bicara”. Data ICW (2023) mencatat rata-rata vonis korupsi hanya 3 tahun 4 bulan—jauh dari ideal untuk memberi efek jera.
Mengapa Ini Penyakit Kronis? Bagaimana Mengobatinya?
Mafia peradilan bertahan karena akarnya dalam: budaya korupsi sistemik, lemahnya pengawasan internal MA, serta minimnya transparansi. Anggota DPR I Wayan Sudirta menyebutnya sebagai “penyakit kronik tanpa obat” yang merusak legitimasi lembaga hukum.
Dampaknya nyata: kepercayaan publik anjlok, investor ragu, dan keadilan berubah menjadi barang mewah.
Upaya penanggulangan membutuhkan pendekatan multidimensi:
- Reformasi struktural – MA harus memperketat syarat hakim, menerapkan pengawasan aset digital, serta melibatkan KY–KPK–masyarakat sipil dalam pemetaan korupsi.
- Transparansi total – E-court wajib untuk semua perkara, mencegah manipulasi “surat sakti” atau rekayasa vonis.
- Penegakan tegas – OTT seperti pada kasus Tannur harus dilanjutkan hingga ke akar, dengan hukuman berat tanpa pandang bulu.
- Edukasi integritas – dimulai dari pendidikan hukum hingga kampanye anti-korupsi di masyarakat.
Publik juga punya peran penting: mengawasi sidang, melaporkan via whistleblower, serta mendukung lembaga seperti ICW. Hanya dengan itu Indonesia bisa menuju zero mafia—sebuah negara di mana hukum benar-benar melayani rakyat, bukan sebaliknya.