PIJAR-JAKARTA – Indonesia termasuk negara yang memiliki beragam sumber daya alam (SDA) melimpah. Sayangnya pengelolaan SDA selama ini belum optimal untuk memberikan kesejahteraan secara merata kepada seluruh masyarakat. Pengerukan atau eksploitasi SDA di Indonesia disebut hanya memberikan keuntungan bagi kelompok tertentu yakni kalangan oligarki.
Prof Denny Indrayana mengatakan pengelolaan SDA yang baik akan menghasilkan kesejahteraan, Sebaliknya, pengelolaan SDA yang serakah akan membawa kerusakan. Menurut Denny, pengelolaan SDA secara serampangan memunculkan mafia tambang, hukum, dan pajak. Dia mencontohkan kasus penambangan ilegal di Kalimantan Selatan yang diistilahkan sebagai “mencuri di siang bolong,” karena tidak sulit bagi aparat untuk melihat aktivitas tersebut.
Namun ironisnya, pelanggaran hukum ini tidak terungkap ke permukaan. Ada indikasi atau dugaan aparat juga terlibat dalam kegiatan ilegal itu. “Ujung dari kegiatan ini kan tidak membayar pajak kepada negara, kejahatan ini saling bertalian,” kata Denny Indrayana dalam diskusi bertajuk “Oligarki, Sumber Daya Alam, dan Ancamannya terhadap Pemilu 2024”, Kamis (2/2/2023).
Terkait hal tersebut, Denny menunjuk salah satu kasus pidana korupsi yang ditangani KPK yang menjerat pejabat Direktorat Jenderal Pajak. Pejabat pajak itu divonis menerima suap, tapi pihak yang memberi suap sama sekali tidak terlihat/tersentuh. Diduga kuat lembaga anti rasuah itu sekarang juga tunduk pada kekuasaan oligarki.
Oligarki juga bersinggungan dengan perhelatan pemilu. Prof Denny menyebut oligarki “menanam” dana kampanye yang kompensasinya nanti berupa deviden politik. Deviden politik itu setidaknya meliputi 2 hal yakni kebijakan yang menguntungkan korporasi atau swasta dan tameng (melindungi) kasus-kasus hukum yang melibatkan kelompok mereka.
Denny mengaku pernah mengkritik Presiden Joko Widodo yang hadir meresmikan pabrik biodiesel yang pemiliknya sedang menjalani proses hukum oleh KPK terkait kasus korupsi pajak. Saat itu, pihak Presiden mengklaim hal itu dua entitas hukum yang berbeda antara pabrik yang disambangi dengan kasus korupsi itu. Setelah ditelusuri ke bekalang ternyata pemilik grup dari pabrik itu sempat menjabat posisi penting dalam tim pemenangan pemilu.
Menelik ke belakang, secara tegas Denny menyebut Presiden Jokowi pun bertanggung jawab “melumpuhkan” KPK melalui revisi UU KPK. Walau dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi menyebut revisi itu inisiasi DPR, tapi Denny menegaskan Presiden bertanggung jawab terhadap terbitnya suatu UU. “Kita harus selamatkan Pemilu 2024, kita juga harus rebut kembali demokrasi yang direbut ‘duitokrasi’,” kritiknya.
Dalam kesempatan yang sama, Akademisi STH Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengingatkan dalam mengelola SDA jangan sampai Indonesia bernasib seperti Nauru. Negara yang mengeksploitasi fosfat sampai habis itu membuat rakyatnya tetap miskin. Elit politik dan oligarki mengeruk fosfat secara serakah. Setelah komiditas itu habis, tanah di Nauru rusak tidak bisa ditanami. Akibatnya, bahan pangan di Nauru mengandalkan impor dari negara lain, seperti Australia.
Keuntungan pengerukan fosfat kebanyakan masuk ke kantong oligarki. Kalangan oligarki di Nauru menempatkan kekayaan dan hasil keuntungan mereka di luar negeri. Sementara rakyat Nauru tidak mendapat manfaat yang berkelanjutan dari hasil tambang fosfat itu. Bahkan, sekarang mereka harus dibantu negara lain dan PBB untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Kita bisa bernasib seperti Nauru karena yang dilakukan oligarki itu penghisapan SDA yang serakah,” imbuhnya.