PIJARJAKARTA.INFO – Premanisme telah lama menjadi duri dalam daging kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan. Dari pungutan liar di pasar hingga ancaman kekerasan di terminal, kelompok preman menciptakan rasa takut yang meresahkan. Upaya penegakan hukum melalui razia, seperti yang dilakukan Polri dan Satpol PP, kerap menjadi sorotan. Namun, apakah razia ini benar-benar efektif, atau hanya sekadar solusi sementara yang gagal menangani akar masalah? Dari perspektif hukum, pendekatan saat ini menunjukkan sejumlah kelemahan yang perlu segera diatasi.
Kelemahan Kerangka Hukum
Salah satu masalah utama dalam penanganan premanisme adalah absennya undang-undang khusus yang mendefinisikan dan mengatur kejahatan ini. Saat ini, penegakan hukum bergantung pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan pasal-pasal seperti pemerasan (Pasal 368) atau kekerasan (Pasal 170). Namun, premanisme bukanlah kejahatan sederhana. Ia sering melibatkan jaringan terorganisasi yang sulit ditangani dengan pasal-pasal umum. Tanpa definisi hukum yang jelas, razia cenderung hanya menyasar pelaku lapangan, sementara otak di balik jaringan tetap bebas.
Laporan media menunjukkan bahwa razia kerap bersifat insidental. Misalnya, pada Februari 2025, Polresta Bogor Kota menangkap 36 orang dalam razia premanisme, dengan 15 di antaranya positif narkoba. Sementara itu, Polri mengklaim telah menyelesaikan 3.326 kasus premanisme hingga Mei 2025. Meski angka ini mengesankan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kelompok preman sering kali hanya berpindah wilayah atau kembali beroperasi setelah razia selesai. Ini menunjukkan pendekatan yang reaktif, bukan preventif.
Tantangan Koordinasi dan Kepercayaan Publik
Koordinasi antarlembaga, seperti Polri, Satpol PP, dan pemerintah daerah, sering kali menjadi titik lemah. Setiap instansi memiliki kewenangan sendiri, tetapi kurangnya sinergi menyebabkan upaya penegakan hukum menjadi terfragmentasi. Artikel di TIMES Malang menyoroti bahwa tanpa model intelijen yang memetakan jaringan preman, razia hanya menjadi “pemadam kebakaran” yang tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Di sisi lain, masyarakat enggan melapor karena takut balas dendam dan kurangnya mekanisme pengaduan yang aman. Praktik “uang keamanan” tanpa dasar hukum tetap marak karena pedagang dan sopir merasa lebih aman membayar daripada menghadapi ancaman. Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum ini diperparah oleh kurangnya edukasi hukum dan perlindungan bagi pelapor.
Akar Masalah: Kemiskinan dan Pengangguran
Premanisme tidak muncul dari ruang hampa. Kemiskinan dan pengangguran menjadi pendorong utama. Banyak pelaku premanisme adalah individu dengan keterampilan minim yang terpaksa bertahan hidup di kota dengan menjadi tukang parkir, pengamen, atau terlibat dalam kegiatan kriminal. Razia yang hanya menangkap pelaku tanpa menangani faktor sosial-ekonomi ini ibarat memotong rumput tanpa mencabut akarnya. Tanpa program preventif seperti pelatihan kerja atau pendidikan, premanisme akan terus bermunculan dalam wujud baru.
Dampak Lebih Luas
Premanisme tidak hanya mengganggu ketertiban masyarakat, tetapi juga merusak citra Indonesia di mata dunia. Media asing, seperti South China Morning Post, bahkan menyebut Indonesia sebagai “negara gangster” karena maraknya kasus premanisme yang menghambat investasi, terutama di sektor strategis seperti mobil listrik. Ini menjadi peringatan bahwa premanisme bukan lagi masalah lokal, melainkan ancaman terhadap perekonomian nasional.
Jalan ke Depan
Untuk mengatasi premanisme secara efektif, pendekatan holistik diperlukan. Pertama, pemerintah harus segera merumuskan undang-undang khusus tentang premanisme yang mencakup definisi jelas, sanksi tegas, dan mekanisme penanganan jaringan kriminal. Kedua, koordinasi antarlembaga perlu diperkuat melalui satuan tugas terpadu yang didukung teknologi intelijen untuk memetakan jaringan preman. Ketiga, pendekatan preventif seperti pelatihan kerja, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan harus menjadi prioritas untuk memutus lingkaran setan premanisme.Tak kalah penting, masyarakat perlu dilibatkan melalui edukasi hukum dan penyediaan mekanisme pelaporan yang anonim dan aman. Kepercayaan publik terhadap sistem hukum harus dibangun agar mereka berani melawan, bukan tunduk pada intimidasi preman.
Penutup
Razia premanisme saat ini, meski menunjukkan komitmen penegakan hukum, masih jauh dari kata efektif. Tanpa kerangka hukum yang kuat, koordinasi yang solid, dan pendekatan preventif, razia hanya akan menjadi solusi sementara yang gagal menjamin keamanan jangka panjang. Indonesia perlu langkah berani untuk memutus rantai premanisme, tidak hanya demi ketertiban masyarakat, tetapi juga untuk menjaga martabat bangsa di mata dunia. Saatnya kita berhenti memadamkan api kecil dan mulai membangun benteng yang kokoh melawan premanisme.