Konflik atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha seringkali terjadi dalam sebuah perusahaan di berbagai sektor usaha. Persoalan mulai pemutusan hubungan pekerjaan (PHK), besaran pesangon, hingga perselisihan hak lain kerap menjadi persoalan pokok yang berujung perselisihan dalam perusahaan. Untuk itu, perlu dipahami tahapan dan cara untuk mencari jalan keluar dalam menyelesaikan konflik hubungan industrial ini.
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan mengatakan pedoman menyelesaikan konflik hubungan industrial masih mengacu UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tanpa terkena imbas dari UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Baginya, menyelesaikan perselisihan atau konflik hubungan industrial harus memahami tahapan-tahapannya. Pertama, menyelesaikan perselisihan di tahap bipartit.
Inisiatif perundingan bipartit bisa datang dari pengusaha atau pekerja yang menginginkan kepentingan yang sama untuk menyelesaikan masalah. Tapi, inisiatif bipartit kerap muncul dari pihak yang menginginkan penyelesaian sesegera mungkin. Caranya, pengusaha mengundang pekerja/serikat pekerja secara lisan atau tertulis untuk merundingkan masalah yang dipersoalkan.
“Dokumentasikan berkas secara tertulis dan rekaman agar semua aktivitas dalam perundingan tercatat yang nantinya dapat dijadikan bukti. Arsipkan semua dokumen yang berkaitan dengan perselisihan. Lalu, buatkan risalah bipartit, masing-masing membubuhkan tanda tangan,” ujar Juanda Pangaribuan dalam diskusi virtual seputar penyelesaian hubungan industrial yang diselenggarakan Hukumonline, Selasa (31/8/2021).
Kedua, bila tak menemukan titik temu di tahap bipartit, menuju ke tahap mediasi di Dinas Ketenagakerjaan setempat. Strategi yang dapat digunakan pengadu yakni pekerja menjelaskan masalah kepada mediator secara gamblang, lugas dan tegas. Sementara pengusaha mendengar dan mencatat untuk selanjutnya mempersiapkan bantahan dan bukti. Pekerja bisa mengusulkan ke pihak mediator agar dilakukan pertemuan setengah kamar. Demikian pula sebaliknya ketika pengusaha dalam posisi sebagai pengadu.
Juanda mengingatkan agar pihak pengadu menghormati dan menghargai mediator sebagai aparatur negara. Menurutnya, sikap baik pengadu dan hormat akan memudahkan mediator memberikan jalan keluar atas perselisihan kedua belah pihak. Tak kalah penting, terus membuka komunikasi dengan pihak-pihak berselisih untuk membantu mediator dalam membaca dan memahami masalah.
Mantan Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat periode 2006-2016 ini melanjutkan kendalanya, salah satu mitra mediasi enggan berdamai dan salah satu pihak hanya menginginkan anjuran/putusan. Sementara dari sisi mediator, kurang berupaya memaksimalkan jalan perdamaian bagi para pihak berselisih paham. Padahal, mediasi menjadi jalan atau cara bagi para pihak bernegoisasi.
Ketiga, di tingkat pengadilan hubungan industrial (PHI). Ketiga mediasi gagal, perselisihan berlanjut ke PHI. Tahap pengadilan menjadi ajang “pertempuran” para pihak beradu argumen dengan menyodorkan bukti-bukti masing-masing untuk meyakinkan hakim PHI. Baginya, tingkat pengadilan bakal jauh lebih rumit ketimbang tahap bipatrit ataupun mediasi.
Misalnya, penggugat, misalnya pekerja harus melampirkan anjuran atau risalah mediasi yang diterbitkan mediator di Dinas Ketenagakerjaan setempat sebagai syarat menggugat ke PHI. Hakim bakal mengkorelasikan surat gugatan dengan anjuran yang diterbitkan mediator. “Untuk memastikan apakah penggugat dan tergugat disebut sebagai pihak berselisih dalam anjuran mediator atau tidak?”
Lazimnya menyusun surat gugatan dilakukan oleh seorang lawyer. Namun pekerja dapat berlatih membuat surat gugatan. Seperti menuliskan identitas, alamat dan jabatan, uraian gugatan secara jelas dan sistematis (posita), serta uraian petitum atau tuntutan. Sementara pihak tergugat membuat jawaban dalam bentuk eksepsi. Dalam eksepsi, tergugat dapat mempersoalkan kewenangan relatif dan absolut pengadilan agar hakim tak memeriksa pokok perkara.
Tahapan selanjutnya tahap pembuktian. Masing-masing pihak bakal beradu bukti seperti surat dan dokumen. Seperti surat peringatan, surat PHK, surat panggilan, slip gaji dan lainnya. Selain itu menyodorkan saksi fakta yang melihat, mendengar dan mengetahui peristiwa. Hingga seorang ahli seperti dosen, peneliti, hingga praktisi yang didengarkan keilmuannya seputar permasalahan yang relevan.
Setelah ada putusan PHI, terdapat pihak kalah dan menang. Bagi pihak yang kalah berhak mengajukan kasasi dan berharap dikabulkan majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung (MA). Permohonan kasasi tak hanya keberatan atas substansi putusan pengadilan tingkat pertama, tapi bisa juga karena adanya kesalahan hakim dalam menerapkan hukum.
“Pemohonan kasasi perlu memperlihatkan dimana letak kesalahan hakim dalam menerapkan hukum. Kalau salah dalam pertimbangan alinea kelima, kutip poin kesalahannya dikaitkan dengan hukum yang seharusnya,” lanjutnya.
Juanda menegaskan permohonaan kasasi menjadi upaya hukum terakhir dalam perkara hubungan industrial. Selain UU No.2 Tahun 2004, hal ini ditegaskan dakam SEMA No.3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar MA Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Kemudian dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.46/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK No. 34/PUU-XVII/2019. Kata lain, PHI tidak mengenal upaya hukum peninjauan kembali.
“Maka pertarungan terakhir ada pada tingkat kasasi. Sehingga baik pemohon maupun termohon harus memaksimalkan pada fase terakhir ini agar bisa memenangkan perkara.”