PIJAR – JAKARTA – Apakah homoseksual adalah kejahatan yang bisa dipidana di Indonesia? Jawabannya bisa iya dan tidak, tergantung definisi dan wujud perbuatan homoseksual yang dimaksud. Merujuk artikel jurnal berjudul Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologis dan Teologis), istilah homoseksual bisa dilihat dari dua aspek.
Pertama, homoseksual sebagai rasa ketertarikan secara seksual (sexual orientation) kepada sesama jenis, baik sesama laki-laki maupun sesama perempuan kepada perempuan. Kedua, istilah ini juga bisa digunakan untuk merujuk kepada kegiatan seksual (sexual acts or behavior) yang dilampiaskan kepada sesama jenis.
Penelusuran dan dikutip dari Hukumonline menunjukkan tidak ada larangan khusus oleh hukum Indonesia bagi orientasi seksual penyuka sesama jenis. Artinya, tidak ada hukum yang bisa menjerat kondisi mental yang homoseksual di Indonesia. Pengakuan diri secara terbuka sebagai homoseksual di Indonesia sama sekali bukan pelanggaran hukum. Namun, beberapa perbuatan konkret yang mengekspresikan homoseksual bisa dipidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang berlaku.
“Perbuatan homoseksual dalam KUHP masuk dalam perbuatan cabul. Hal itu karena tidak diakui sebagai zina atau perkosaan jika sesama jenis. Acuannya adalah sexual intercourse harus terjadi pada lawan jenis. Oleh karena itu dalam KUHP hanya bisa masuk dalam tindak pidana perbuatan cabul,” kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso.
Topo menjelaskan bahwa ukuran sexual intercourse adalah ada aktivitas dua jenis alat kelamin yang umum dikenal. Pertemuan alat kelamin pria dengan alat kelamin perempuan masih menjadi acuan utama terjadinya sexual intercourse. Topo mengakui bahwa jangkauan perbuatan cabul memang sangat luas karena meliputi segala kejahatan seksual yang belum mengarah pada sexual intercourse.
Namun, perbuatan homoseksual yang bisa dipidana sebagai perbuatan cabul hanya jika memenuhi salah satu dari dua unsur. Pertama, perbuatan homoseksual terjadi pada orang yang belum dewasa. Kedua, ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang membuat korban tidak berdaya menolak.
Dodik Setyo Wijayanto, Hakim Pengadilan Negeri Jombang, Jawa Timur menegaskan hal yang sama. “Perbuatan homoseksual oleh orang sipil berusia dewasa dengan suka sama suka tidak bisa dipidana. Pasal 292 KUHP sudah tegas memberi kepastian sesuai asas legalitas. Hakim tidak bisa melakukan penemuan hukum dengan metode apa saja soal itu. Tetapi kalau menafsirkan ukuran usia dewasa yang memang beragam masih bisa,” kata Dodik.
Ramon Wahyudi, Hakim Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat menambahkan, “Homoseksual sebagai perbuatan cabul itu delik aduan yang harus ada korban”. Ia sependapat dengan Dodik bahwa perbuatan homoseksual oleh orang sipil berusia dewasa dengan suka sama suka tidak diatur oleh KUHP sebagai perbuatan terlarang. Dodik dan Ramon menyebut acuan paling spesifik hanya ada pada Pasal 292 KUHP.
Di sisi lain, Topo menyebut bahwa pasal-pasal perbuatan cabul di KUHP juga bisa menjadi dasar pemidanaan terkait perbuatan homoseksual meski korban sudah berusia dewasa. Batasnya adalah terjadinya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang membuat korban tidak berdaya. Topo sependapat dengan Dodik dan Ramon bahwa perbuatan homoseksual dengan suka sama suka oleh orang berusia dewasa di Indonesia bukan pelanggaran hukum pidana.
Topo sependapat dengan Dodik bahwa satu-satunya ruang penafsiran adalah soal usia dewasa. Hal itu karena ada beberapa acuan usia dewasa dalam hukum Indonesia. “Hakim bisa saja pakai ukuran usia 15 tahun dalam KUHP, usia anak dalam hukum perlindungan anak, usia boleh kawin dalam hukum perkawinan, atau usia dewasa dalam hukum perdata,” kata Topo. Sependapat dengan Ramon, Topo juga menyebut harus ada korban yang mengadu untuk memproses pidana perbuatan homoseksual sebagai perbuatan cabul.
Homoseksual dan Nilai Moral yang Hidup di Masyarakat
“Bahwa ada nilai moral yang hidup di masyarakat menolak perbuatan homoseksual harus diakui memang ada. Namun, sangat mungkin tidak semua nilai moral yang hidup dan berkembang di masyarakat berhasil dilindungi KUHP. Asas legalitas dalam hukum pidana melarang hakim membuat norma baru yang bisa menghukum orang.” Dodik menyebut satu-satunya langkah yang bisa ditempuh adalah mengubah undang-undang pidana yang menjadi tugas pembentuk undang-undang.
Pendapat Dodik ini sama dengan pendapat Mahkamah Konstitusi saat menolak uji materiil Pasal 292 KUHP. Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 menilai permohonan uji materiil atas Pasal 292 KUHP tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa rumusan norma Pasal 292 KUHP ternyata tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Soal nilai moral yang hidup di masyarakat menolak perbuatan homoseksual, Mahkamah Konstitusi mengatakan, “Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru”.
Topo mengakui bahwa KUHP yang saat ini berlaku menempatkan pemidanaan homoseksual sebagai perbuatan cabul hanya jika ada korban orang belum dewasa. “Saya tidak menyebut perbuatan homoseksual oleh orang dewasa atas dasar suka sama suka sebagai perbuatan legal di Indonesia. Namun, memang itu tidak dijangkau oleh pengaturan hukum pidana,” katanya menambahkan.
Topo menyebut bahwa nilai moral yang hidup di masyarakat Indonesia saat ini masih cenderung menolak perbuatan homoseksual. Berdasarkan itu, bisa dikatakan bahwa hukum yang hidup di masyarakat juga menolak perbuatan homoseksual. Hanya saja dalam hukum pidana berlaku pembatasan kriminalisasi dengan asas legalitas. Penghormatan pada Hak Asasi Manusia melarang menjatuhkan pidana pada perbuatan yang tidak diatur tegas dalam KUHP.
Homoseksual dalam Hukum Pidana Militer
Kondisi berbeda dialami oleh subjek hukum pidana militer. Topo mengatakan, ada hukum pidana yang berlaku khusus bagi kalangan militer. “Betul bahwa ada sanksi pidana militer yang bisa menjerat prajurit militer jika melakukan perbuatan homoseksual suka sama suka dan sama-sama orang dewasa,” kata Topo.
Artikel dalam Jurnal Hukum dan Peradilan berjudul Pemidanaan Perkara Kesusilaan dalam Relevansinya Sebagai Perbuatan Melanggar Perintah Dinas menyebut perbuatan homoseksual di internal Tentara Nasional Indonesia telah diatur sebagai pelanggaran berat berdasarkan Surat Telegram Panglima Tentara Nasional Indonesia.
Ada dua surat yang menjadi acuan yaitu ST Panglima TNI No. ST/398/2009 tanggal 22 Juli 2009 jo. ST Panglima TNI No. ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019. Isinya mengatur larangan bagi prajurit TNI melakukan perbuatan asusila bagi Prajurit TNI melakukan perbuatan asusila dengan jenis kelamin yang sama.
Lebih lanjut, hasil rapat pleno kamar di Mahkamah Agung juga telah menegaskannya dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung. SEMA Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan bertanggal 18 Desember 2020 berisi rumusan kamar militer bahwa homoseksual sebagai tindak pidana militer. Hukuman penjara yang bisa diterima adalah paling lama dua tahun empat bulan.
Tidak hanya ancaman penjara, Surat Telegram Panglima Tentara Nasional Indonesia juga memberi perintah ancaman pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas aktif jika terbukti prajurit militer melakukan perbuatan homoseksual.
Berdasarkan penelusuran Hukumonline pada direktori putusan Mahkamah Agung menemukan sejumlah putusan yang memenjarakan serta memecat prajurit militer karena terbukti melakukan perbuatan homoseksual. Perbuatan homoseksual oleh orang dewasa dengan suka sama suka hanya bisa dihukum jika pelakunya prajurit militer di Indonesia.
Tampak bahwa batas halal praktik homoseksual dalam pandangan pengadilan Indonesia masih cukup longgar jika dilakukan oleh warga sipil. Apalagi sekadar memiliki orientasi seksual homoseksual. Pilihan dan pengakuan diri secara terbuka sebagai homoseksual di Indonesia sama sekali bukan pelanggaran hukum. Apalagi sampai dianggap sebagai kejahatan atas nama hukum pidana.