Sejak berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2019 tentang Adminsitrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (e-Court-Litigation untuk perkara perdata, agama, TUN) sebagai bagian merespons perkembangan digital termasuk menghadapi situasi pandemi Covid-19. Terdapat hal penting yang tak boleh diabaikan dalam sistem persidangan secara elektronik ini yakni soal integritas dokumen yang menjadi alat bukti dalam persidangan perkara, khususnya dalam perkara khusus persaingan usaha.
Hakim Agung Syamsul Maarif mengatakan integritas dokumen yang dijadikan bukti dalam sebuah persidangan perkara perdata menjadi bagian yang tak terpisahkan. Semua dokumen perkara berbasis elektronik yang diunggah melalui sistem informasi pengadilan (SIP) haruslah dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
“Atau istilahnya,integritas dokumen. Jadi dokumennya asli, tidak ada tambahan,” ujar Hakim Agung Syamsul Maarif dalam sebuah diskusi virtual bertajuk “Pemeriksaan Elektronik dalam Perkara Persaingan Usaha: Solusi atau Masalah?”, Kamis (31/3/2022).
Dia menerangkan penggunaan domisili elektronik bukanlah domisili elektronik sementara, tapi domisili elektronik para pihak yang telah terverifikasi. Hal tersebut telah tertuang secara jelas dalam Perma 1/2019. Begitu pula, terhadap semua bukti dalam bentuk dokumen yang diunggah para pihak dalam SIP harus melalui proses verifikasi (agar bisa dipastikan keasliannya, red).
Caranya, mencocokan keaslian dokumen elektronik hasil unggahan melalui sistem informasi pengadilan dengan dokumen fisik aslinya. Ia mengaku pernah melakukan studi banding di beberapa negara. Salah satunya dengan negara Singapura yang mengimplementasikan pencocokan dokumen tidak mengharuskan datang ke pengadilan secara fisik.
Misalnya, ketika hakim melakukan pemeriksaan sidang secara jarak jauh, menggunakan bantuan dari tenaga ahli informasi dan teknologi agar memastikan kebenaran dokumen elektronik dengan dokumen fisiknya. Nantinya, pendapat tenaga ahli teknologi informasi ini bisa membantu meyakinkan hakim terkait keaslian dokumen elektronik. Makanya di Singapura pemeriksaan atau mencocokkan dokumen elektronik dengan dokumen asli tak memerlukan kehadiran fisik pihak berperkara di pengadilan.
“Tapi kita (di Indonesia, red) masih dalam transisi, dan kita masih perlu adanya pencocokan dokumen yang di-upload dengan dokumen yang diajukan secara fisik oleh pihak yang berperkara,” tegasnya.
Wakil Ketua Tim Pembaruan Peradilan Kelompok Kerja (Pokja) Kemudahan Berusaha dan Pokja Persaingan Usaha MA itu melanjutkan dalam tahap pemeriksaan saksi atau ahli dalam persidangan jarak jauh secara elektronik, sedapat mungkin dilakukan di gedung pengadilan setempat di bawah pengawasan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan.
Sebelum disahkan, proses pembuatan norma aturan tersebut semula menuai perdebatan panjang. Langkah tersebut dilakukan agar saksi atau ahli dalam memberikan keterangan secara bebas dari intervensi pihak manapun. “Tanpa tekanan dari pihak manapun,” ujar mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) periode 2005-2006 itu.
Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Prof Asep Saifuddin mengatakan perkembangan teknologi berdampak dalam persidangan yang digelar secara daring/online. Seperti persidangan elektronik dalam tahap pemeriksaan dokumen. Dalam implementasinya, pemeriksaan dokumen elektronik perlu kehati-hatian dalam memastikan keoriginalan dokumen. “Mengerikan kalau tidak betul-betul digunakan dengan niat baik,” kata dia.
Komisioner KPPU, Dinnie Melanie menilai transparansi alat bukti menjadi amat penting bagi access to justice. Menurutnya, alat bukti berupa dokumen yang diperoleh KPPU tak hanya dari pelapor yang bersangkutan. Dia mengambil contoh dalam sebuah perkara kartel, terdapat perusahaan bersaing dengan perusahaan lain. Dalam praktiknya, dokumen elektronik yang didapat KPPU bakal dirahasiakan.
“Tentu KPPU sangat menghormati dan itu asas-asas hukum. Kita berusaha selama ini menyesuaikan dengan kondisi atau sifat persaingan usaha itu sendiri,” ujarnya.
Khusus dokumen yang diunggah ke cloud storage masih sebatas dapat diakses panitera dan majelis. Ke depan, kata Dinnie, harapannya dapat diakses pihak berperkara. Tapi, itupun dalam tahap pengaturannya pada revisi aturan yang ada agar memberikan akses bagi pihak terlapor. Dalam praktiknya, kata Dinnie, pemeriksaan alat bukti dan dokumen diberikan sebelum penyampaian kesimpulan.
“Jadi semua dokumen yang diperoleh dan akan dibuka oleh majelis dan bisa diakses para pihak dan dicatat poin-poin pentingnya,” katanya.
Perempuan yang malang melintang sebagai panitera dan investigator selama 14 tahun di KPPU itu ingat betul lembaga tempatnya bernaung dahulu cenderung longgar soal akses informasi dokumen. Menurutnya, dokumen sebagai alat bukti dapat difoto, hingga di-scan. Tapi, ada pula dokumen “nakal”.
“Jadi ada proses fotocopy dokumen yang tidak dikembalikan semuanya ke panitera. Bahkan, ada dokumen yang ditambahkan dan disisipkan oleh oknum terlapor atau oknum kuasa hukum yang tidak bertanggung jawab, ini jadi temuan kita. Makanya ini menjadi konsen KPPU untuk menjaga dokumen semua pihak,” katanya.