PIJAR | JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut kondisi pandemi Covid-19 dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara darling menjadi pemicu berpotensi kuat meningkatnya angka murid putus sekolah dan memutuskan menikah padahal belum lulus sekolah.
“Selama pandemi Covid-19, mulai Juni sd Februari 2021, KPAI menerima pengaduan terkait masalah pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) terutama di sekolah-sekolah swasta. Kasus-kasus tersebut diselesaikan melalui mediasi dengan melibatkan Dinas Pendidikan setempat sebagai pengawas dan pembina sekolah-sekolah negeri maupun sekolah-sekolah swasta,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, dalam keterangannya, Rabu (17/2/2021).
Ia menjelaskan, pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena adanya kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR). Kemudian masalah tunggakan SPP, mulai dari tunggakan 3 bulan sampai 10 bulan. Pengaduan meliputi jenjang PAUD sampai SMA/SMK, baik sekolah negeri maupun swasta, tetapi yang terbanyak sekolah swasta.
Pengaduan berasal dari 8 Provinsi yaitu DKI Jakarta diantaranya Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Sedangkan Jawa Barat meliputi daerah Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Cirebon. Lalu Jawa Tengah seperti Kota Surakarta dan Kabupaten Temanggung.
Selanjutnya Provinsi Banten yaitu kota Tangerang dan Tangsel. Lampung wilayah Bandar Bandung. Sumatera Utara wilayah kota Medan. Sulawesi Selatan wilayah kota Makassar. Bali wilayah kota Denpasar dan Provinsi Riau wilayah kota Pekanbaru.
Pengaduan terbesar berasal dari DKI Jakarta (45,2%), Jawa Barat (22,58%), Banten (9,67%), Jawa Tengah (6,45%), Lampung (3,22%), Sumatera Utara (3,22%), Sulawesi Selatan (3,22%), Riau (3,22%), dan Bali (3,22%). Menurut Retno, sebagian besar kasus tersebut diselesaikan melalui mediasi yang dihadiri para pihak (pengadu dan teradu) didampingi oleh Dinas Pendidikan setempat.
“Meskipun DKI Jakarta masuk pengaduan terbanyak, namun Dinas Pendidikan DKI Jakarta sangat kooperatif dalam upaya menyelesaikan dan memiliki program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan KJP Plus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, sehingga memudahkan penyelesaian,” kata Retno.
Retno menilai, kebijakan penutupan sekolah dan Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) dimasa pandemi menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah karena pernikahan dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orangtua kehilangan pekerjaan. Ketika anak menikah atau bekerja, maka secara otomatis berhenti sekolah.
Kendati demikian, saat ini KPAI tengah melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di masa pandemi di 8 provinsi diantaranya Pulau Jawa ditambah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bengkulu, namun kata dia, beberapa Kepala Sekolah menyampaikan bahwa ada peserta didiknya yang putus sekolah, karena beberapa sebab, misalnya mereka tidak memiliki alat daring, kalaupun ada tidak mampu membeli kuota internet, sehingga dampaknya anak-anak tersebut selama berbulan-bulan tidak mengikuti belajar jarak jauh, dan pada akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah.
“Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun,” ungkap Retno.
Dijelaskannya, pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah orangtua murid, berawal dari tidak munculnya anak-anak tersebut saat belajar jarak jauh berlangsung dan tidak pernah lagi mengumpulkan tugas. Saat didatangi walikelas dan guru bimbingan konseling, sekolah baru mengetahui bahwa siswa yang bersangkutan mau menikah, atau sudah menikah, maupun sudah bekerja.
“Ada kisah inspiratif di Kabupaten Bima dan Lombok Barat (NTB) dimana pihak sekolah berhasil membujuk siswa dan orangtua untuk melanjutkan pendidikan yang tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan. Usaha para guru tersebut patut di apresiasi,” tegas Retno.
Dari data diperoleh jenis pekerjaan para siswa umumnya pekerjaan informal seperti tukang parkir, kerja dicucian motor, bekerja di bengkel motor, di percetakan, berjualan bensin di rumah, asisten rumah tangga (ART) dan ada juga yang membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak mampu lagi membayar karyawan.
“Bahkan, pada salah satu SMK swasta di Jakarta yang mayoritas siswanya memang dari keluarga tidak mampu, rata-rata per kelas ada 4 siswa bekerja,” beber Retno.
Namun, mereka diberikan kesempatan untuk menyusulkan tugas-tugasnya, kalau soal bayaran sekolah (SPP) tidak ada masalah, karena di DKI Jakarta mereka mendapatkan KJP Plus untuk pembiayaan pendidikannya, kalau daerah lain belum tentu terbiaya pemerintah daerah, terutama untuk jenjang SMA/SMK.
Selain itu, Retno juga mengingatkan aktivitas belajar anak di rumah tanpa pengawasan orangtua akan berpotensi mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Ini terjadi bila pengawasan orangtua terhadap anaknya sangat lemah. Hal ini rentan terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini.
KPAI mengapresiasi Kemdikbud RI yang sudah merevisi standar isi menjadi Kurikulum khusus dalam situasi darurat dan pada tahun 2021 ini juga melakukan revisi terhadap standar penilaian melalui Surat edaran (SE) Mendikbud No 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan serta pelaksanaan Ujian Sekolah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) yang ditandatangani Mendikbud Nadiem pada tanggal 1 Februari 2021.
“Surat edaran ini seharusnya menjadi rambu-rambu penilaian di masa pandemic bagi kelulusan maupun kenaikan kelas peserta didik pada seluruh sekolah di Indonesia,” sebutnya.
Selain itu, KPAI mendorong Kemdikbud dan Dinas Pendidikan melakukan pemetaan dan membuat program pembagian alat daring untuk PJJ, sehingga anak-anak yang tidak memiliki alat daring bisa dipinjamkan melalui sekolah dan diberikan bantuan kuota internet.
“Bagi daerah yang blank spot diberikan bantuan penguat sinyal sehingga PJJ dapat berlangsung, anak-anak tetap memiliki keteraturan dalam pembelajaran,” sambungnya.
Retno berharap, Dinas-dinas Pendidikan di daerah memetakan bersama sekolah terkait anak-anak yang berpotensi putus sekolah karena tidak memiliki biaya pendidikan, mereka harus dibantu, baik yang di sekolah negeri maupun sekolah swasta agar hak atas pendidikan tetap dapat dipenuhi oleh pemerintah/Negara dalam keadaan apapun sebagaimana amanat pasal 31 Konstitusi RI.
“Kami juga meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Dinas- dinas PPPA di berbagai daerah untuk mengkampayekan bahayanya perkawinan anak dan mencegah terjadinya perkawinan anak karena putus sekolah di masa pandemi Covid-19,” tutupnya.(Red)