PIJAR-JAKARTA – Berbagai ketentuan yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan banyak yang diubah melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dari beragam aturan yang diubah, salah satunya mengenai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau dikenal dengan istilah outsourcing atau alih daya.
Partner Kantor Hukum Assegaf, Hamzah & Partner (AHP), Ahmad Maulana, mengatakan istilah yang digunakan sebelum UU No.11 tahun 2020 terbit yakni penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Mekanisme outsourcing itu menggunakan 2 cara yakni pemborongan atau penyedia jasa pekerjaan. Ketentuan itu sebelumnya diatur Pasal 64, 65, dan 66 UU No.13 Tahun 2003.
Setelah UU No.11 Tahun 2020 terbit, Pasal 64-65 UU No.13 Tahun 2003 itu dihapus dan Pasal 66 diubah. Melalui perubahan itu tidak ada lagi istilah penyerahan sebagian pelaksaan pekerjaan, UU No.11 Tahun 2020 menyebut outsourcing dengan istilah alih daya. “Alih daya substansinya mirip outsourcing sebagaimana definisi global pada legal market saat ini,” kata Ahmad Maulana dalam kegiatan Webinar “Ciptaker Series #2: Kupas Tuntas Tenaga Alih Daya (Outsourcing) Pasca UU Cipta Kerja”, Selasa (7/6/2022).
Sebelum terbit UU No.11 tahun 2020, Ahmad menjelaskan ada 5 karakteristik outsourcing sebagaimana diatur UU No.13 Tahun 2003 dan peraturan turunannya sebagaimana diatur Permenaker No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sebagaimana diubah dengan Permenaker 27/2014. Pertama, kegiatan outsourcing harus terpisah dari kegiatan utama. Pemisahan ini bisa secara fisik dan fungsi.
Kedua, perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Misalnya perusahaan pengguna (user) memborongkan pekerjaan call center kepada perusahaan outsourcing. Call center yang merupakan pekerja perusahaan outsourcing itu mendapat perintah dari koordinator perusahaan outsourcing, bukan perusahaan pengguna.
Ketiga, outsourcing hanya untuk jenis kegiatan penunjang. Keempat, tidak menghambat proses produksi secara langsung. Ahmad menjelaskan parameternya yakni bukan untuk pekerjaan utama atau tidak menghambat kegiatan perusahaan. Misalnya, perusahaan pengguna menggunakan pekerja outsourcing untuk call center, ketika pekerjaan itu dihapus maka tidak menghambat produksi perusahaan. Kelima, pendaftaran perjanjian outsourcing ke dinas ketenagakerjaan.
Ahmad menyebut 5 karakteristik outsourcing itu pada masa lalu kerap menimbulkan gejolak. Tapi kelima karakteristik itu sudah dihapus melalui UU No.11 Tahun 2020. Sekarang outsourcing bisa ditempatkan di posisi yang tidak terpisah dengan kegiatan utama. Sekalipun jika pekerjaan itu dihapus bisa menyebabkan produksi terganggu.
Selain itu, yang perlu diperhatikan sebelum menggunakan pekerja outsourcing adalah perusahaan outsourcing harus berbadan hukum PT dan mengantongi izin. Jika perusahaan outsourcing yang diajak kerja sama itu tidak patuh aturan, akan berdampak buruk bagi perusahaan pengguna.
Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI), Ike Farida, mengatakan PP No.35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK (PP PKWT-PHK) mengusung reformasi di bidang outsourcing atau alih daya. Reformasi itu antara lain untuk menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan adaptif serta menyerap tenaga kerja. Selain itu, memberi perlindungan maksimal terhadap tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas.
Sedikitnya 4 hal yang diatur PP No.35 Tahun 2021, khususnya terkait alih daya. Pertama, skema perjanjian pemborongan dihapus dan perluasan jenis pekerjaan yang bisa dialih daya. Kedua, perlindungan tenaga kerja alih daya ditekankan dalam konteks hubungan kerja, bukan bisnis. Serta ada mekanisme transfer of undertaking protection of employment (TUPE) atau pengalihan hak pekerja.
Ketiga, kewajiban dan tanggung jawab terhadap pekerja alih daya. Misalnya, terkait upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut diatur dalam perjanjian bersama, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Keempat, persyaratan perusahaan alih daya yakni berbadan hukum, memenuhi syarat perizinan berusaha yang ditentukan pemerintah pusat.
Ike menilai pengaturan dalam PP No.35 Tahun 2021 tidak cukup mengatur praktik alih daya. Selama ini banyak kasus yang muncul dari praktik alih daya atau outsourcing yang kebanyakan melanggar hak-hak normatif buruh. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya fee atau ongkos yang diberikan perusahaan user atau pengguna jasa alih daya kepada perusahaan alih daya. Ongkos yang rendah itu membuat perusahaan alih daya memangkas hak yang seharusnya diberikan kepada buruh.
“Menurut data tahun 2020 ada sekitar 8 ribu perusahaan alih daya atau outsourcing yang terdaftar, tapi yang mematuhi aturan jaminan sosial hanya 5 ribu perusahaan. Banyak juga perusahaan outsourcing yang belum tercatat,” kata Ike dalam webinar bertema “Menuju Sistem Alih Daya dan Pengupahan Berkeadilan Sesuai Visi Indonesia 2045” pada Senin (22/11/2021) lalu.