PIJAR|JAKARTA – Kehilangan kewarganegaraan bagi seorang Warga Negara Indonesia (WNI) bisa karena banyak hal. Salah satunya jika WNI tersebut terbukti memiliki paspor yang dikeluarkan oleh negara lain. Isu kehilangan kewarganegaraan ini mengemuka dalam Simposium Nasional Hukum Tata Negara yang digelar Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham bersama Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dengan tema “Penguatan Fungsi Kemenkumham dalam Memberikan Perlindungan dan Kepastian Hukum Melalui Layanan Ketatanegaraan” di Bali, Rabu (18/5).
Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, Prof. Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, kehilangan kewarganegaraan bagi WNI tersebut tercantum dalam Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Salah satu alasan seseorang kehilangan kewarganegaraannya karena memiliki dokumen atau paspor asing.
Menurutnya, perumusan norma dalam pasal tersebut merupakan sanksi administrasi, jika orang tersebut melakukan salah satu dari beberapa hal yang dilarang pada Pasal 23, maka berpotensi kehilangan kewarganegaraannya. Namun, Zudan menegaskan, jika seseorang memiliki paspor dari negara lain tidak otomatis kehilangan status WNI-nya.
“Ketika punya paspor negara lain otomatis kehilangan warga negara Indonesianya? Saya berpandangan tidak otomatis kehilangan WNI,” kata Zudan.
Hal ini, lanjut Zudan, lantaran belum ada tindakan administrasi pemerintahan saat WNI tersebut memiliki paspor asing. Maka dari itu, ia mengusulkan agar peran Ditjen AHU Kemenkumham dengan menerbitkan sebuah keputusan untuk membatalkan atau mencabut kewarganegaraan terkait sangatlah penting.
Hal berbeda disampaikan Guru Besar HTN dan HAN Prof. Galang Asmara. Menurutnya, dalam asas hukum administratif, seseorang yang memiliki paspor atau larangan lain sesuai Pasal 23 UU Kewarganegaraan, harusnya otomatis kehilangan status WNI mereka. “Filosofi dalam pasal ini adalah sanksi, sehingga ini otomatis,” katanya.
Galang menuturkan, dari sisi pendekatan filosofi, ketika seseorang merupakan WNI sekaligus juga WNA, maka terdapat bahaya bagi negara di dalamnya jika didasarkan pada etika yang tidak baik. “Jadi dalam dwi kewarganegaraan ada bahaya bagi negara apalagi didasarkan pada etika tidak baik. Misalnya, mengetahui rahasia negara hingga menjadi alat negara asing untuk tahu kelemahan Indonesia,” katanya.
Untuk itu, ia berpandangan seharusnya seseorang otomatis kehilangan status warga negaranya jika melanggar salah satu poin dari Pasal 23 UU Kewarganegaraan tersebut. “Kalau berpendapat dengan dasar asas administrasi, dalam HAN ada pengecualian, tapi asas tersebut tidak berlaku umum. Dalam hal tertentu demi kepentingan umum dan kepentingan keadilan asas tersebut bisa dikesampingkan,” pungkasnya.
Dirjen AHU Kemenkumham Cahyo R Muzhar menambahkan bahwa Pemerintah selalu berkomitmen untuk memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya. Termasuk pada isu saat warga negara tersebut kehilangan status kewarganegaraannya. Ia berharap, persoalan seperti ini masuk dalam perubahan UU Kewarganegraaan.
Hal lain yang disorot Cahyo ketika WNI masuk dalam kelompok terlarang militer asing. Hal ini menurutnya penting bagi Pemerintah Indonesia, meski di sisi lain Indonesia tidak akan membiarkan warga negaranya menjadi stateless namun terdapat aspek kepentingan nasional, aspek keamanan nasional di dalamnya.
“Ada perdebatan di sini, apakah entitas ini merupakan sebuah negara yang memberikan dokumen kewarrganegaraan berdasaarkan definisi UU Kewarganegaraan, bagaimana ini tetap menjadi stateless atau tetap diakui warga negara Indonesia,” pungkasnya.