Sita Pidana dan Sita Umum Kepailitan, Mana yang Harus Didahulukan?

Avatar photo

- Jurnalis

Rabu, 18 Mei 2022 - 09:50 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Doc: hukumonline.com

Doc: hukumonline.com

PIJAR | JAKARTA – Kedudukan sita pidana dan sita umum kepailitan masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Jika perkara pidana dan kepailitan berjalan secara bersamaan, mana yang harus didahulukan? Apakah sita pidana atau sita umum kepailitan.

Dasar hukum penyitaan dalam pidana diatur dalam Pasal 1 angka 16 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal tersebut berbunyi “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.”

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Nindyo Pramono, dari pengertian tersebut jelas bahwa penyitaan dilakukan untuk kepentingan pembuktian. Penyitaan hanya terhadap benda atau barang yang dibutuhkan untuk kepentingan pembuktian, penuntutan dan peradilan. Adapun bentuk penyitaan adalah mengambil alih dan/atau menyimpan.

Dalam Pasal Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1) (Pasal 39 ayat (2) KUHAP). Pasal 39 ayat (1) KUHAP  mengatur tentang benda yang dapat dikenakan penyitaan: a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau Sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Sementara itu, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan). Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan (Pasal 21 UU Kepailitan).

Sita kepailitan adalah sita terhadap seluruh harta kekayaan debitur, untuk dilakukan pemberesan oleh Kurator demi kepentingan para kreditur. Benda sitaan umum dalam kepailitan berada dibawah kekuasaan Kurator untuk dilakukan pemberesan, berbeda dengan pidana dimana benda sitaan berada di bawah kekuasaan negara. Dengan diucapkan pernyataan pailit, demi hukum debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang masuk dalam boedel pailit (Pasal 24 UU Kepailitan). Dan fungsi utama UU Kepailitan adalah sarana hukum untuk penyelesaian hutang piutang, baik karena terpaksa atau dipaksa.

Baca Juga :  Fahira Idris Minta Petugas PPSU Pelaku Penganiayaan Diproses Hukum

Kemudian dalam Pasal 31 ayat (2) UU Kepailitan mengatur bahwa dengan adanya putusan pernyataan pailit, semua sitaan terhadap harta pailit menjadi hapus, artinya menjadi kewenangan Kurator dalam rangka prose pemberesan harta boedel pailit.

Nindyo mengatakan terdapat konflik norma antara Pasal 39 ayat (2) KUHAP dengan Pasal 31 ayat (2) UU Kepailitan. Jika merujuk pada beberapa yurisprudensi, Nindyo menilai sita kepailitan berkedudukan lebih kuat dari sita pidana untuk tujuan penyidikan.

Namun Nindyo memberikan pendapat lain terkait sita pidana dalam tindak pidana korupsi. Menurutnya untuk perkara tipikor ‘luar biasa’ yang merugikan negara hingga puluhan triliunan rupiah, sita pidana harus didahulukan dari sita kepailitan karena menyangkut uang rakyat. Konsep mendahulukan sita kepailitan dibanding sita pidana tidak dapat digeneralisir.

“Namun, sepertinya memang perlu dipikir ulang dan tidak bisa kita generalisasi bahwa semuanya harus Kurator yang dimenangkan. Jika peristiwa korupsinya dengan dahsyat, seperti case Jiwasraya dan Asabri, bahkan tidak tertutup kemungkinan case-case BUMN lain, yang menghancurkan uang negara (yang notabene uang rakyat) sampai puluhan triliun rupiah,” katanya dalam sebuah webinar, Rabu (11/5).

Salah satu contoh kasus yang terjadi saat ini adalah Jiwasraya. Benny Tjokrosaputro (BT) selaku komisaris PT Hanson International Tbk, adalah salah satu terpidana kasus Jiwasraya dan Asabri yang secara bersamaan juga divonis pailit secara pribadi. Nindyo meyakini terjadi benturan antara sita pailit (kurator) dengan sita pidana (penyidik).

Sampai saat ini, proses pidana BT belum selesai, artinya pasal 39 ayat (2) KUHAP masih berjalan. Dan untuk itu Nindyo menilai kurator harus menunggu sampai kasus pidana BT selesai jika ingin menyelesaikan boedel pailit.

“Saya berpendapat uang negara harus diselamatkan. Banyak hal yang perlu dibenahi dan dilakukan evaluasi, mengapa orang swasta (bukan penyelenggara negara) bisa sedemikian “leluasa“ menghancurkan uang negara sampai triliunan rupiah. Apakah uang negara bisa Kembali dengan cara pailit? Perlu kita renungkan bersama,” tegasnya.

Baca Juga :  Kemensos Dukung dan Beri Akses Penuh terhadap Proses Hukum di KPK

Ketua Umum Asosiasi Kurator Indonesia (AKPI), Jimmy Simanjuntak, menyampaikan pandangan berbeda. Jimmy menyebut persoalan PKPU dan kepailitan bukanlah sekedar ranah privat yang hanya mengedepankan kepentingan pelaku usaha. Nyatanya kepailitan justru tetap mengedepankan kepentingan negara lewat pajak yang berstatus sebagai kreditur preferen.

“Pajak bisa masuk dalam proses pailit artinya negara hadir diwakilkan pajak untuk menagih haknya. Sita umum bukan untuk memenuhi kepentingan satu pihak dengan pihak lain, nggak sepakat kalau dilihat dari konteks UU Kepailitan dasarnya bahwa hukum privat. Jangan salah di dalam UU Kepailitan Pasal 93 itu sangat jelas bunyinya di sana setelah dinyatakan pailit pengadilan ataupun kurator dapat memerintahkan debitur untuk ditahan, biaya penahanan dibebankan kepada kepailitan,” kata Jimmy pada acara yang sama.

Dalam konteks ini Jimmy menegaskan bahwa utang didasarkan pada perjanjian dan UU. Ketika satu putusan pengadilan tipikor menyatakan terdakwa terbukti melakukan tipikor dan merugikan keuangan negara, maka setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan secara UU negara memiliki hak untuk menuntut recovery.

Jika perkara pidana dan pailit berjalan secara bersamaan, pembagian harta dapat dilakukan secara sita umum oleh kurator. Sita umum bisa dilakukan setelah proses penyidikan dan penuntutan, dan kemudian pengelolaan dan pemberesan dilakukan kurator. Jimmy menilai apabila negara memiliki tagihan atas perkara pidana, maka negara dapat memasukkan tagihan tersebut kepada kurator dalam proses kepailitan.

“Tagihan negara ini suatu bentuk diskursus. Saya melihat perkara berdasarkan praktek. Proses persidangan penuntutan dan hukum tetap itu tidak memberikan suatu manfaat terhadap proses kepailitan itu sendiri, ketika dasar utang adalah UU maka ketika negara memiliki hak untuk meminta pengembalian kerugian negara maka kreditur menagih kepada kurator, sama dengan pajak. Ketika ada kreditur dengan hak mendahului maka dia punya hak mendahului, negara tagihannya sama dengan pajak, kreditur preferen yang didahulukan. Ini menjadi diskursus, sehingga tidak hanya berdebat mana yang didahulukan tapi memberikan konklusi,” pungkasnya.

Berita Terkait

KBRI Thailand Respons Cepat, Tujuh Pekerja Migran Asal Kalideres Akan Pulang ke Indonesia pada 8 Mei 2025
Mahkamah Agung Rotasi 199 Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri, Termasuk di Jakarta
Upaya Hukum Berlanjut: Pekerja Migran Indonesia Asal Kalideres Tertahan di Imigrasi Thailand
Lagi dan Lagi! ‘Wakil Tuhan’ Hakim Terjaring Hukum, Keadilan Kian Merana
Upaya Hukum untuk Tujuh Pekerja Migran Indonesia Asal Kalideres di Thailand
Waspada! Debt Collector Rampas Motor Kredit Macet, Hukuman Penjara Menanti
7 Pekerja Migran Kalideres Hilang Kabar di Thailand, YLBH Pijar Turun Tangan!
Polres Jakbar Bongkar Kasus Minyakkita Tak Sesuai Takaran, Satu diantaranya Pelaku Direktur Utama
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 2 Mei 2025 - 07:30 WIB

KBRI Thailand Respons Cepat, Tujuh Pekerja Migran Asal Kalideres Akan Pulang ke Indonesia pada 8 Mei 2025

Rabu, 23 April 2025 - 16:35 WIB

Mahkamah Agung Rotasi 199 Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri, Termasuk di Jakarta

Senin, 21 April 2025 - 21:24 WIB

Upaya Hukum Berlanjut: Pekerja Migran Indonesia Asal Kalideres Tertahan di Imigrasi Thailand

Minggu, 13 April 2025 - 11:33 WIB

Lagi dan Lagi! ‘Wakil Tuhan’ Hakim Terjaring Hukum, Keadilan Kian Merana

Sabtu, 12 April 2025 - 06:47 WIB

Upaya Hukum untuk Tujuh Pekerja Migran Indonesia Asal Kalideres di Thailand

Berita Terbaru

Berita

Waduk Aseni Terbengkalai, Gubernur DKI Masih Bungkam

Senin, 12 Mei 2025 - 07:00 WIB