Penerapan restorative justice (keadilan restoratif) sedang digalakkan Kejaksaan terhadap tindak pidana umum. Hal ini ditandai terbitnya Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai aturan internal kejaksaan dalam menangani perkara pidana. Namun belakangan bergeser tak hanya tindak pidana umum, tapi menyasar tindak pidana korupsi.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan paradigma penegakan hukum telah mengalami pergeseran dari keadilan retributif berupa pembalasan menjadi keadilan restoratif. Keadilan restoratif memberi keseimbangan dalam proses peradilan pidana. Karenanya, keadilan bakal muncul saat perdamaian dan harmoni di masyarakat serta pelaku kejahatan dapat diterima masyarakat.
Menurutnya, konsep keadilan restoratif bakal menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat berhak mendapatkan keadilan tanpa memandang golongan dengan tetap memperhatikan berat dan ringannya perkara. Memang, Perja 15/2020 masih sebatas jenis perkara yang melibatkan masyarakat kecil, tapi sejatinya tujuan yang hendak dicapai menghadirkan kemanfaatan hukum.
“Ke depan cukup melihat berat ringan perkaranya, tak hanya jenis perkaranya, tapi juga melihat nominal kerugian keuangan negara yang kecil,” ujar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam sebuah webinar, Selasa (8/3/2022).
Dia melanjutkan kejahatan keuangan, seperti korupsi penanggulangannya menggunakan instrumen keuangan. Selain itu, pemiskinan koruptor dalam memulihkan keuangan negara. Untuk itu, dalam perkara korupsi tak hanya sekedar pemidanaan badan, tapi dapat juga melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku. Menurutnya, melalui pendekatan finansial proses pemberantasan korupsi perlu mempertimbangkan beban ekonomi negara dalam proses penanganan perkara dan biaya bagi narapidana.
“Ini untuk menciptakan proses hukum efisien, sehingga harus mempertimbangan rasionalitas mulai tingkat penyidikan sampai putusan berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi mengatakan korupsi menjadi kejahatan luar biasa. Penyelesaiannya mesti menggunakan hukum acara pidana yang luar biasa beserta sanksi pidana yang diperberat. Hal tersebut merupakan konsep keadilan retributif berupa pembalasan.
Dalam praktik, ada pula kasus korupsi yang nilai korupsinya ringan. Makanya Jaksa Agung sempat menggagas korupsi di bawah Rp50 juta tidak dipidana atau cukup mengembalikan hasil korupsinya. Bagi Supardi, tindak pidana korupsi minor, penyelesaiannya menggunakan hukum acara pidana bersifat ringan atau di luar persidangan. Namun hukum acara pidana tipikor di Indonesia belum mengatur.
“Tipikor sifatnya minor (ringan), tidak tepat digunakan hukum acara yang luar biasa,” ujarnya.
Menurutnya, tak semua tindak pidana sebagai extra ordinary crime. Penilaian tersebut menjadi diskresi kewenangan jaksa dalam penuntutan. Apalagi Kejaksaan memiliki kewenangan menggunakan asas oportunitas sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam rumusan Pasal 35 ayat (1) UU No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mengatur soal denda damai.
Pasal 35 ayat (1) huruf K “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: …k. menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf K, “denda damai” adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.
Menurutnya, penggunaan denda damai dalam tindak pidana ekonomi merupakan salah satu bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung dalam tindak pidana perpajakan, tindak pidana kepabeanan, atau tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan UU. “Sedang Disusun Peraturan Kejaksaan mengenai penanganan tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan penggunaan denda damai dalam tindak pidana ekonomi,” ujarnya.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta itu mengingatkan konsep tindak pidana korupsi ringan perlu dibedakan dengan konsep tindak pidana ringan sebagaimana diatur Pasal 205 ayat (1) KUHP. Yakni perkara diancam pidana penjara/kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp7 ribu. Sedangkan reinterpretasi konsep tipikor ringan terdapat dua hal. Pertama, aspek perbuatan dilihat dari nilai kerugian/dampak relatif kecil. Kedua, aspek subyektif yakni melihat derajat kesalahan rendah atau sifat tercelanya perbuatan.
Mekanisme penyelesaian perkara korupsi Rp50 juta yang ditawarkan Supardi. Pertama, setelah perkara dinyatakan telah cukup bukti perbuatan melawan hukum dan kesalahan tersangka atau P21. Syarat yang dapat diajukan dalam penyelesaian di luar persidangan, seperti pengembalian kerugian keuangan negara, pembayaran sejumlah uang ke kas negara sebagai denda yang jumlahnya sesuai dengan ancaman denda dari pasal yang dilanggar.
Kemudian melepas kepemilikan atas benda-benda yang dapat dirampas demi kepentingan negara. Serta membayar sejumlah uang ke kas negara senilai barang-barang hasil korupsi yang dapat dikenakan tindakan perampasan. Kedua, ada kesepakatan jaksa/penyidik dan tersangka dengan saksi para pihak instansi terkait. Jaksa dalam kapasitasnya mewakili negara selaku korban tindak pidana korupsi.
Kontrol atas mekanisme ini, tersangka berhak menolak syarat-syarat tersebut dan meminta perkara dilanjutkan ke persidangan. Sementara penyidik wajib memenuhi permintaan informasi dari masyarakat tentang penyelesaian perkara di luar persidangan. Kemudian pembayaran uang pengganti, denda, perampasan hasil kejahatan semuanya disetor ke kas negara atau daerah.
“Lampiran Berita Acara Kesepakatan Penyelesaian Perkara ditembuskan kepada pihak relevan, seperti jaksa, hakim, Kepala Satker, Kepala Daerah, dan pelapor,” ujarnya.
Ketiga, batas waktu pelaksanaan kesepakatan dalam kurun waktu 3 bulan. Menurutnya, jangka waktu 3 bulan adalah jangka waktu paling lama. Penyidik dapat saja menawarkan jangka waktu yang lebih pendek, dengan melihat kasus posisi tindak pidana dan kondisi tersangka. Baginya, ketentuan tersebut dapat mencegah menumpuknya tunggakan perkara.
“Jadi, tipikor di bawah Rp50 juta layak diselesaikan di luar pengadilan,” katanya.