Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret lalu serta Hari Kartini, Mahkamah Agung (MA) RI menggelar webinar bertajuk “Dialog Internasional: Kebijakan Mendorong Peningkatan Peran Kepemimpinan Perempuan di Pengadilan”, Kamis (21/4/2022). Pada kesempatan itu, Ketua MA Prof Syarifuddin menyampaikan bahwa kepemimpinan perempuan di pengadilan memiliki arti yang sangat penting.
Terdapat 2 alasan pentingnya peran kepemimpinan perempuan di pengadilan. Pertama, keragaman atau diversity dalam kepemimpinan pengadilan dibutuhkan untuk memungkinkan kebijakan yang diambil MA dapat mewakili pandangan masyarakat yang lebih luas. Dengan kata lain, perspektif dari berbagai kelompok masyarakat dapat diakomodir dan tidak hanya terpusat oleh perspektif kelompok mayoritas atau kelompok yang memiliki kekuatan sosial dan ekonomi lebih besar dalam masyarakat.
“Kebijakan-kebijakan MA harus juga melayani mereka yang termasuk dalam kelompok rentan yaitu perempuan, anak, penyandang disabilitas,masyarakat miskin, serta minoritas etnis dan agama,” ujar Syarifuddin.
Kedua, diversity dalam kepemimpinan pengadilan dapat menjadi cerminan dari keragaman peradilan itu sendiri. Dengan adanya keragaman pada susunan dan komposisi hakim yang menjadi salah satu komponen penting, MA berharap penyelenggaraan pengadilan dapat terlaksana dengan adil tanpa adanya keberpihakan.
Dengan kepemimpinan yang lebih beragam termasuk ditandai atas imbangnya komposisi perempuan dan laki-laki di dalamnya, MA meyakini bahwa kebijakan yang dikeluarkan akan dapat melayani dan lebih sesuai dengan kepentingan dan ekspetasi publik. Seiring dengan kebijakan yang lebih mengakomodir serta ada kesesuaian dengan putusan pengadilan yang lebih mengedepankan diversity. Hal tersebut diharapkan dapat berimplikasi pada meningkatnya kepercayaan publik terhadap pengadilan.
“Pada akhirnya, menguatnya kepercayaan publik ke pengadilan tentu memperkuat wibawa pengadilan yang merupakan salah satu cita-cita dalam konsep negara hukum. Atas pemahaman terhadap konsep-konsep inilah, MA memandang penting seimbangnya representasi hakim laki-laki dan perempuan. Serta kepemimpinan laki-laki dan perempuan pada setiap tingkatan pengadilan dan satuan organisasi MA.”
Hal tersebut, lanjutnya, juga sesuai dengan mandat dalam pembangunan berkelanjutan 2030 atau yang dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs). Tepatnya pada goal ke-5 dan ke-16 yang merujuk pada tanggung jawab global untuk kesetaraan gender dan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik termasuk dalam hal ini pengadilan.
Terkait keterwakilan perempuan pada badan peradilan di Indonesia, ia mengaku bahwa memang belum dapat disebut ideal. “Jika kita berbicara pada konteks ini, harus kita akui bahwa representasi hakim perempuan pada peradilan di Indonesia belumlah ideal. Demikian pula komposisi kepemimpinan hakim perempuan pada pengadilan.”
Untuk memperbaiki kondisi ini, MA melahirkan sejumlah kebijakan yang tentu impact-nya tidak secara instan langsung dapat dirasakan. Dari kebijakan yang ada, masih diperlukan peran dan kontribusi lembaga serta masyarakat untuk memperbaiki ketimpangan yang terjadi. Seperti pada bagian tertentu peran dari masyarakat dibutuhkan Ketika dewasa ini masih seringkali ditemukan penerapan nilai-nilai patriarki yang menghambat akses pendidikan dan peran serta perempuan dalam kehidupan sosial.
“Kabar baiknya, dalam penerimaan calon hakim pada tahun 2017, komposisi calon hakim perempuan sudah mencapai 34 persen. Sedangkan pada penerimaan analis perkara pengadilan yang juga diproyeksikan sebagai calon hakim di tahun 2022, komposisi analis perkara peradilan (perempuan) yang diterima bahkan mencapai 42 persen. Komposisi ini memiliki peningkatan signifikan dibanding komposisi hakim perempuan yang ada saat ini.”
MA juga terus berupaya mencari dan menerapkan kebijakan dengan menggunakan mandat dan kewenangan yang dimiliki untuk menghilangkan eksklusivitas sistem peradilan Indonesia terhadap hak dan kepentingan perempuan. Diantaranya dengan menghadirkan kelompok kerja perempuan dan anak yang terbentuk sejak tahun 2015 dan telah berhasil merumuskan sejumlah peraturan MA.
Pada kegiatan tersebut, Hakim Mahkamah Agung Selandia Baru sekaligus Presiden Asosiasi Hakim Wanita Internasional atau International Association of Women Judges (IAWJ) Susan Glazebrook mengamini pernyataan Ketua MA RI mengenai pentingnya bagi pengadilan untuk menjadi lebih representatif atas keragaman yang ada. Termasuk dalam hal ini terkait keterwakilan perempuan di lingkungan pengadilan.
“Secara global, wanita masih belum terlalu terepresentasikan di lingkungan pengadilan. Berdasarkan laporan terbaru Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai independensi hakim dan advokat, hanya sekitar 30 persen hakim di Asia dan Oceana adalah Wanita. Lebih penting lagi, juga dilaporkan representasi hakim wanita pada negara civil law dan common law secara signifikan berkurang di pengadilan pada tingkat yang lebih tinggi,” tutur Susan.
Ia memandang hakim wanita seringkali ditugaskan pada pengadilan yang berorientasi sosial, seperti pengadilan keluarga dan pengadilan anak saja. Kurangnya diversitas di lingkungan yudisial ini dirasa amat mengkhawatirkan. Padahal, dari sejumlah penelitian yang Susan dapatkan, dapat dijumpai fakta bahwa pengadilan yang diverse adalah pengadilan yang lebih baik untuk membuat putusan yang lebih baik dan inovatif.
Menurutnya, wanita dan kaum minoritas membawa pengalaman hidup dan perspektif atas perannya yang berbeda. Dengan pendekatan hukum yang dilakukan melalui lensa unik mereka, dapat memperkaya kontribusinya dalam mengembangkan hukum. Pada lembaga yudisial modern, pemikiran keragaman ini perlu dilakukan oleh seluruh anggota termasuk laki-laki.