Isu moratorium atau penghentian sementara permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan menjadi pembahasan utama saat ini. Usulan yang disampaikan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tersebut didasari makin tingginya jumlah PKPU dan kepailitan oleh kreditur terhadap pelaku usaha Indonesia yang menjadi debitur perbankan akibat pandemi Covid-19.
Gagasan ini tentunya menimbulkan perdebatan berbagai pihak. Di satu sisi, moratorium ini memberi kelonggaran bagi pelaku usaha namun sisi lain kebijakan tersebut dapat mengganggu likuiditas perbankan sehingga berisiko jadi krisis sektor keuangan dalam skala besar. Berbagai gagasan bermunculan untuk mencari win-win solution atas persoalan tersebut.
Hal ini menjadi latar belakang Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) mengadakan webinar internasional dengan topik “Covid-19 Temporary Measures to Prevent the Increasing Insolvency and PKPU Petitions in Indonesia”, dikuti dari hukumonline.com pada Kamis (2/9).
Ketua AKPI Jimmy Simanjuntak menyampaikan pembahasan moratorium PKPU dan kepailitan jadi persoalan penting yang harus dicari jalan keluar. Menurutnya, persoalan ini bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan berbagai negara akibat Covid-19.
Dia menyatakan jumlah PKPU dan permohonan kepailitan meningkat siginfikan setahun terakhir dan diperkirakan terus bertambah. Jimmy merujuk data Pengadilan Niaga Jakarta, yang menyatakan jumlah PKPU dan permohonan pailit meningkat 50% dibandingkan tahun 2019. Kemudian, statistik menunjukkan bahwa jumlah permohonan PKPU terdapat 331 petisi dan 36 petisi kepailitan sepanjang Januari 2021 hingga Juli 2021.
“Dapat disimpulkan bahwa pandemi merupakan faktor utama ketidakmampuan debitur dalam melunasi utangnya dan Kreditur mengalami kerugian finansial karena tidak adanya pembayaran kembali. Dalam situasi tersebut, tidak heran jika PKPU dan proses kepailitan lebih diutamakan daripada kreditur karena pemeriksaan dan putusannya lebih cepat daripada gugatan perdata,” jelas Jimmy.
Seiring gagasan moratorium tersebut, Jimmy menyampaikan PKPU dan kepailitan sebenarnya bagian dari jalan keluar saat terjadi tekanan ekonomi. Selain itu, proses PKPU dan kepailitan juga menjadi salah satu indikator penilaian kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia.
Sebelumnya, Jimmy juga telah menyampaikan jika presiden ingin menerbitkan Perppu untuk melakukan moratorium terhadap permohonan PKPU dan Pailit, maka Indonesia sudah mengambil langkah mundur terkait kepastian berusaha di Indonesia.
Rencana moratorium ini dipandang sebagai jalan pintas yang tidak menyasar pada inti permasalahan. Padahal dalam praktiknya, UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) berperan besar dalam menyelamatkan dunia usaha dari ambang pailit. Meskipun pada beberapa sisi UU Kepailitan memiliki kelemahan, namun moratorium bukanlah sebuah jalan keluar yang tepat.
https://8c95230b7afeb45ed64d9c8d1be28238.safeframe.googlesyndication.com/safeframe/1-0-38/html/container.html Jimmy meminta Presiden Jokowi untuk melihat UU Kepailitan dari berbagai aspek. UU Kepailitan adalah UU khusus yang tidak bisa digambarkan secara satu pihak. Banyak pihak yang terlibat dalam UU Kepailitan.
Perlu diketahui, Singapura telah memberlakukan moratorium PKPU dan kepailitan lebih awal. Ministry of Law Singapura memberlakukan the Covid-19 (Temporary Measures) Act pada April 2020. Aturan ini diharapkan dapat memitigasi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 dengan memberikan keringanan sementara khususnya pelaku usaha kecil memenuhi kewajiban kontrak.
Salah satu poinnya yaitu keringanan sementara dari bankruptcy proceedings. Namun, kebijakan Singapura ini disusun dengan matang dan memberlakukan ambang batas dari sisi jumlah utang dan jangka waktu.
Partner Allen and Gledhill Law Firm, Andrew Chan, menjelaskan peran Singapura bertindak membantu dunia bisnis dan individu yang terdampak pandemi Covid-19.
“Secara umum kebijakan temporary measures yang diterapkan Singapura bertujuan untuk membantu masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kewajiban kontrak-kontrak tertentu karena Covid-19. Selain itu, kebijakan temporary measures ini juga membatasi proses kebangkrutan dan kepailitan tertentu,” jelas Andrew dalam paparannya.
Dia menjelaskan temporary measures tidak termasuk kontrak yang ditandatangani atau diperbarui pada atau setelah 25 Maret 2020. Dan, mencakup pada kewajiban atau obligation yang harus dilakukan pada atau setelah 1 Februari 2020.
Dari sisi jangka waktu, temporary measures ini awalnya berlaku selama 6 bulan dari 20 April 2020 hingga 19 Oktober 2020. Namun, melihat kondisi, kebijakan tersebut diperpanjang disesuakan dengan jenis kontraknya seperti kontrak konstruksi dan kontrak pengiriman barang yang diperpanjang sampai 30 September 2021.