Ledakan teknologi digital yang bertemu dengan potensi pasar yang besar di Indonesia memiliki tantangan tersendiri bagi otoritas keuangan. Namun, kondisi tersebut berisiko terhadang oleh ekses negatif kejahatan dunia digital.
Deputi Komisioner Stablitas Sistem Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Agus Edy Siregar, menyampaikan pihaknya telah membentuk OJK Infinity yang mengembangkan regulatory sandbox.
“Ini mengarahkan teman-teman generasi muda dalam memitigasi ekses negatif dari inovasi tersebut. Selain itu regulatory sandbox ini juga sebagai sarana koordinasi antara lembaga pengawas dalam bidang inovasi digital tersebut,” kata Agus dalam Keunote Speech dalam Virtual Seminar NFT: Antara Blockchain dan Cryptocurrency: Risk & Opportunity” pada Kamis (24/2).
Untuk diketahui, hingga Januari 2022, OJK mencatat perkembangan inovasi digital yang berada di bawah pengawasan OJK tumbuh pesat. Dalam regulatory sandbox ada 12 kategori inovasi digital. Di antaranya meliputi 83 inovasi keuangan digital yang memberikan kontribusi sebesar Rp90 miliar lebih ke perekomomian sejak 2018.
Lalu peer to peer lending ada 113 platform, dengan peminjam berjumah 73,2 rekening, dan yang tersalurkan mencapai lebih dari Rp295 triliun, naik dari tahun sebelumnya hampir 90 persen. Kemudian dari securities crowdfunding, ada 7 platform yang telah menghimpun dana sekitar Rp473 miliar dengan jumlah pemodal sebanyak lebih dari 96 ribu entitas.
“Oleh karena itu kita harus cepat mengoptimalkan potensi ekonomi digital di Indonesia karena kalua kita terlambat meningkatkan daya saing ekonomi digital kita, maka Indonesia akan terus menjadi pasar bagi produsen asing. Tentunya kita tidak berharap kita hanya menjadi penonton di negeri sendiri,” pungkas Agus.
Meski begitu, tantangan yang pesat dari perkembangan keuangan digital harus dibarengi degan landasasan pemahaman dan respons kebijakan yang tepat. Secara umum OJK melihat tantangan keuangan digital terkait dengan aspek jangkauan koneksi digital yang masih terbatas. Ini terkait infrastruktur di daerah remote dan pedesaan. Lalu tingkat literasi digital yang masih rendah bagi masyarakat yang masih dikategorikan sebagai unbankable.
Faktor lain, lanjutnya, meningkatnya kejahatan dunia maya dan pengguanaan data pribadi atau cyber crime yang menggunakan teknik manipulasi data. Ini dibutuhkan undang-udang yang mengatur keamanan data pribadi serta pelaksanaan yang jelas terkait aturan yang telah ditetapkan.
“Di sisi lain masih ada keterbatasan talent digital dalam mendukung perkembangan ekonomi digital dan keuangan digital sehingga perlu akselerasi peningkatan SDM di level regulator dan juga pemangku kepentingan,” papar Agus.
Sementara itu terkait peredaran aset-aset kripto OJK telah melarang lembaga jasa keuangan untuk menggunakan, memasarkan atau memfasilitasi perdaganagn aset tersebut. Termasuk penempatan dana dengan unsur spekulasi yang tinggi atau volatilitas lainnya. Hal ini disebabkab karena aset kripto merupakan komoditi yang diatur oleh Bapebti dan bukan merupakan produk jasa keuangan.
“Bank tentunya boleh memfasilitasi transaksi pembayaran untuk perdaganan aset kripto, namun tidak boleh memfasilitasi perdagangannya. Ini selaras dengan BI yang melarang penyelenggara system pembayaran dan penyelenggaran teknologi finansial di Indonesia untuk memproses transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual curancy. Jadi saya garisbwahi bahwa kripto dinilai sebagai aset, bukan currency. Jadi sampai saat ini dilarang sebagai alat pembayaran, tetapi sebagai komoditas yang diperdagangkan,” tegas Agus.
Tentunya dari sisi investor, lanjut Agus, risiko yang timbul dari perdagangan aset kripto adalah kerugian yang ditimbulkan dari berinvestasi di aset ilegal seperti money game, entitas robot trading tanpa ijin, dan perdagangan aset kripto tanpa ijin. Umumnya hal ini karena iming-iming imbal hasil yang sangat tinggi, tidaka wajar, dan investor diminta untuk melakukan penyetoran dana terlebih dahulu.
“Dengan demikian OJK meminta calon investor untuk lebih berhati-hari menyikapi tawaran investasi model ini,” pungkas dia.
Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika Kominfo, I Nyoman Adhiarna mengatakan bahwa salah satu isu kripto yang tengah hangat saat ini adalah Non Fungible Token (NFT), sebauh aset digital yang telah menarik minat investasi masyarakat Indonesia hingga global.
“NFT ini adalah token digital, unik, langka tetapi memilki nilai. Jika dibeli seseorang, maka tidak bisa lagi dibeli yang lain. Tidak bisa dipecah-pecah dan transparan. Karena kelangkaan ini, maka berharga di komunitas aset ini dan mahal. Kenapa mahal? Di banyak kasus, ditetukan oleh siapa penjual dan pembeli,” kata Nyoman.
Menurut Nyoman, saat ini Kementrian Kominfo sedang melakukan telaan terkait dampak-dampk dari perkembangan investasi kripto jenis NFT ini. “Kami masih dalam tahap awal. Tidak banyak yang menguasai maka kita butuh sering dengan para pakar. Sebab, Kominfo lebih banyak bertanggung jawab dari sisi penyelenggaran sistem elektronk, itu yang kami atur. Lebih kepada tata kelola, kewajiban registasi, hingga pengamanan data,” jelas Nyoman di virtual seminar LPPI itu.
NFT, lanjutnya, tidak lebih dari fase berikut dari teknologi blockchain. Adapun potensi aplikasi NFT ada di berbagai bidang antara lain digital identity, intelectual property, academi credential, gaming industry, ticketing, art galleries, votting, mucis, dan social media.
“Awalnya kita pesimis dengan kripto, lama-lama kita antusias. Tetapi kita sadar bahwa ini masih harus diatur. Karena tidak lama akan masuk fase normal, mulai diterapkan.”
Sejauh ini, menurut Nyoman isu yang berkembang di Indonesia antara lain terkait sejauh mana teknologi kripto atau blockchain ini diatur. Memang blockchain yang beredar sudah memilik semacam nomor identitas, namun BI tetp mengatakan bahwa kripto bukan mata uang, tetapi investasi kripto diatur dalam Kepmendag dan diawasi Bapebpti.
“Kita juga masih ada isu copyright digital hardware di kalangan pelaku inovasi ini. Tetapi menurut UU kita tidak mengatakan hal itu, sebelum NFT itu diatur sebagai aset yang dilindungi.”
Maka, menurut Nyoman, penyedia platrom NFT harus teregistrasi sebagai penyelanggara sistem elektronik, dan kontenny harus memenuhi unsur budaya bangsa. Ini perijinannya harus lintas lembaga dan kementrian.
“Banyak negara juga mengatur isu yang sama. Beluma ada kejelasan soal hak cipta. Bahkan hanya diperbolehkan untuk game ekosistem. Sebab ada risiko money loudering yang menjadi isu di berbagai negara,” ungkap Nyoman.