Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (RUU HAP) memasuki babak baru setelah sekian tahun mandek. DPR dan pemerintah mulai membahas RUU HAP pada tahap tingkat pertama. Namun, materi muatan RUU yang menjadi usul inisiatif pemerintah ini mulai dikritisi sejumlah elemen masyarakat. Salah satu harapan terbesar dari pengaturan RUU HAP ini tak boleh sekedar tambal sulam melalui instrumen hukum yang selama ini sudah berjalan, seperti melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma).
Staf Khusus Ketua Mahkamah Agung, Aria Suyudi mengatakan hukum keperdataan yang berlaku di Indonesia terbilang usang. Sebab, sudah puluhan tahun Indonesia hanya menggunakan hukum keperdataan peninggalan kolonial Belanda yakni Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku di pulau Jawa dan Madura. Kemudian, Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGB) yang berlaku di luar pulau Jawa dan Madura; dan Reglement op de Rechtsvordering (RV).
Di tengah perkembangan zaman yang begitu pesat, teknologi, dan perubahan birokrasi, kata Aria, diperlukan perubahan hukum acara perdata yang mampu mengakomodir kebutuhan akses bagi pencari keadilan. Sayangnya, reformasi hukum acara perdata berjalan lamban. Bahkan tertinggal dengan reformasi hukum lainnya. Karenanya, untuk mengisi kekosongan hukum acara keperdataan, Mahkamah Agung telah banyak menerbitkan Perma.
“Boleh dikatakan wajah hukum acara perdata kita tambal sulam. Belum lagi banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara khusus,” ujar Aria Suyudi dalam sebuah webinar bertajuk “RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan” yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Rabu (23/3/2022).
Untuk itu, Aria mengingatkan hukum acara perdata perlu segera dibenahi dengan mempertimbangkan berbagai instrumen hukum yang sudah ada. Misalnya, banyaknya Perma yang mengatur hukum acara perdata (umum dan khusus, red) tetap perlu dimasukkan dalam RUU HAP. Sebab, dia menilai penerapan Perma yang mengatur soal hukum acara keperdataan mampu menciptakan banyak manfaat bagi masyarakat.
“Perma hanya sebatas ‘jalan belakang’ mengatasi kebutuhan hukum masyarakat. Untuk itu, pengaturan RUU HAP harus komprehensif. Termasuk meninjau institusi keperdataan di pengadilan. Seperti keberadaan juru sita di pengadilan yang harus professional, seperti di Belanda,” kata Aria.
Wakil Ketua Bidang Pengembangan Organisasi dan Kemitraan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu berpendapat perlu ada kesepakatan dan kejelasan terkait peran yudikatif dalam pengaturan tentang hukum acara. Satu sisi pengadilan lazim memiliki kewenangan untuk mengisi kekosongan hukum. Di lain sisi, membuat kebijakan atau aturan pada dasarnya kewenangan eksekutif dan legislatif sesuai dengan pilar kekuasaan negara demokrasi.
Lebih lanjut, Aria berpendapat RUU HAP perlu mengakomodir konsep persidangan berbasis elektronik. Selama ini hanya Perma No.1 Tahun 2019 tentang Administrasi dan Persidangan Secara Elektronik yang menjadi payung hukum mekanisme persidangan online untuk perkara perdata, agama, TUN. Di dalamnya mengatur mulai domisili elektronik, pemanggilan secara elektronik, pengiriman berkas secara elektronik, hingga beracara secara elektronik.
Beracara di dalamnya ada tahap jawab menjawab, pembuktian, pemeriksaan saksi/ahli, pembacaan putusan, dan salinan putusan secara elektronik termasuk penggunaan tanda tangan elektronik. Dia mengingatkan Perma 1/2019 berangkat dari asumsi sengketa perdata menjadi domain para pihak. Berdasarkan asas pacta sunt servanda, semua hal yang disepakati para pihak mengikat sebagai UU.
“UU HAP harus mampu memberikan dasar hukum yang solid bagi keberlakuan persidangan secara elektronik,” ujarnya mengingatkan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Alviani Sabillah mengatakan berdasarkan hasil kajian lembaganya ternyata belum optimalnya penggabungan perkara, ketiadaan sistem pemantauan terintegrasi. Kemudian terdapat hambatan menghadirkan pihak/saksi yang terkendala jarak, lambatnya proses, hingga relaas panggilan yang tidak sampai kepada pihak. Alhasil, berdampak pada biaya sidang yang mahal.
Akibat perkembangan pemanfaatan teknologi yang begitu pesat, mendorong Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Perma 1/2019; Perma No.4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik; dan SEMA No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Sema No.14 Tahun 2020 tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.
“Pasal 17 ayat (7), 346 ayat (2), dan 351 RUU Hukum Acara Perdata telah memanfaatkan teknologi,” ujarnya.
Menurutnya, dalam pembentukan sistem, inovasi, dan pemanfaatan teknologi, RUU HAP perlu mengakomodir ketentuan mengenai persidangan elektronik yang sudah ada. Seperti, pemanggilan para pihak secara elektronik, penggabungan perkara yang dilakukan secara elektronik dan terintegrasi. Begitu pula soal membangun sistem informasi perkara dan untuk para pihak pencari keadilan.
“Serta mengakomodasi skema penyelesaian sengketa online dispute resolution untuk gugatan sederhana,” sarannya.