PIJAR | JAKARTA – Pandemi Covid-19 yang telah terjadi hampir dua tahun ini memberi dampak yang begitu besar bagi angkatan kerja di Indonesia. Adanya pembatasan aktivitas hingga kemerosotan daya beli masyarakat menjadikan industri mengurangi kapasitas produksi. Ada karyawan yang kehilangan pekerjaannya, ada yang sebagian lainnya masih bekerja tapi penghasilannya berkurang. Awal pandemi di tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan jumlah pengangguran di periode Agustus 2020 mengalami peningkatan sebesar 2,67 juta orang. Oleh karena itu jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi 9,77 juta orang. Bukan hanya itu, pandemi covid-19 juga membuat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mengalami kenaikan dari 5,23 persen menjadi 7,07 persen. Apabila dilihat berdasarkan lokasi geografisnya, jumlah pengangguran yang ada di kota mengalami peningkatan lebih tinggi jika dibandingkan di desa. Di kota, tingkat pengangguran meningkat hingga 2,69 persen sedangkan di desa sebesar 0,79 persen.
Adapun prosentase penduduk miskin pada September 2020 sebesar 10,19 persen, dari jumlah ini mengalami kenaikan menjadi 0,41 persen di bulan Maret 2020. Secara kalkulasi jumlah penduduk miskin di bulan September 2020 adalah 27,55 juta orang, artinya meningkat menjadi 1,13 juta orang terhitung dari bulan Maret 2020. Atau dapat juga dikatakan bahwa garis kemiskinan pada September 2020 tercatat sebesar Rp 458.947 per kapita per bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp339.004 atau 73,87 persen dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp119.943 atau 26,13 persen. Pada September 2020, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,83 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.216.714 per rumah tangga miskin per bulan.
Dalam aturan ketenagakerjaan di Indonesia, istilah yang digunakan untuk menyebut gaji adalah upah. Adapun definisi upah sendiri menurut Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah: Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Selanjutnya, komponen upah yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) PP No. 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, terdiri atas:
a. Upah tanpa tunjangan;
b. Upah pokok dan tunjangan tetap;
c. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap; atau
d. Upah pokok dan tunjangan tidak tetap.
Dalam PP Pengupahan tersebut memang juga mengatur tetang skema pemotongan upah oleh perusahaan, diana digunakan untuk pembayaran:
a. denda, ganti rugi, dan/atau uang muka upah yang dilakukan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau peraturan kerja bersama;
b. sewa rumah dan/atau sewa barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, dan/atau utang atau cicilan utang pekerja/buruh yang harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis; dan/atau
c. kelebihan pembayaran upah yang dilakukan tanpa persetujuan pekerja/buruh.
Sekalipun terdapat skema tersebut, yang perlu menjadi perhatian adalah jumlah keseluruhan pemotongan upah paling banyak 50% dari setiap pembayaran upah yang diterima oleh pekerja/buruh selama bekerja.
Sehingga apabila terdapat pemangkasan upah pekerja dengan alasan perusahaan merugi sebagai dampak wabah COVID-19 merupakan tidak berdasarkan hukum dan dapat menimbulkan perselisihan hubungan industrial, yakni perselisihan hak.
Adapun yang dimaksud dengan Perselisihan hak berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memiliki arti sebagai berikut: Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Apabila terdapat perselisihan hak bagi pekerja/buruh, maka dapar diselesaikan dengan cara bipartit, yakni penyelesaian permasalahan antara pekerja dengan perusahaan secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja. Namun apabila tidak ditemukan kesepakatan, pekerja/buruh yang didampingi oleh kuasanya dapat melakukan mediasi, namun apabila juga gagal maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Oleh: Anis Nur Nadhiroh SH MH/YLBH PIJAR