PIJAR-JAKARTA – Perseteruan antara aktor kondang Rezky Aditya (RA) dengan Wenny Ariani (WA) masih terus berlanjut dan menjadi perbincangan publik. Sengketa ini bermula tatkala WA mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap RA di Pengadilan Negeri Tangerang pada Juni 2021 lalu dengan nomor perkara 746/Pdt.G/2021/PN Tng.
Beberapa tuntutan WA dalam gugatannya adalah meminta hakim mengabulkan gugatannya agar anak perempuannya bernama Naira Kaemita Sasmita (NKS) dinyatakan anak biologis RA. Selain itu ia meminta dilakukannya tes DNA, hingga meminta pergantian kerugian materiil dan immateriil sekitar Rp 17 miliar.
PN Tangerang menolak gugatan WA. Namun WA memutuskan untuk naik banding dan Pengadilan Tinggi Banten memutuskan RA sebagai ayah biologis NKS. Berdasarkan penuturan WA, keduanya menjalin hubungan di masa lalu dan melahirkan seorang anak perempuan tanpa ikatan pernikahan.
Dikutip dalam artikel Hukumonline “Begini Status Anak Luar Nikah”, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Neng Djubaedah, menjelaskan sedikitnya ada dua pengertian tentang anak luar kawin. Pertama, anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Kedua, anak dibenihkan di luar perkawinan, tapi dilahirkan setelah orang tuanya melakukan perkawinan.
Untuk pengertian yang kedua itu, dalam hukum perdata, anak tersebut bisa dikategorikan sebagai anak sah. Menurut Djubaedah ini diatur dalam pasal 50 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diperbarui lewat UU No. 24 Tahun 2013. Pasal itu pada intinya menyebut pengesahan anak wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana paling lambat 30 hari sejak ayah dan ibu dari anak itu melakukan perkawinan dan mendapat akta perkawinan. Ketentuan itu dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengesahan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Oleh karena itu Djubaedah menjelaskan bagi penganut agama Islam, anak luar nikah tidak dapat dikategorikan sebagai anak sah. Penganut agama Islam juga tidak boleh melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin, tetapi anak tersebut harus dilindungi. Meski demikian, ayah bilogis dari anak luar kawin itu tak boleh lepas tanggung jawab. Ayah biologis dapat dituntut oleh si anak dan ibunya untuk memenuhi pemberian nafkah, biaya penghidupan, perawatan, pendidikan, pengobatan sampai usia anak beranjak dewasa.
Dalam hukum Islam, Djubaedah mengatakan anak luar kawin hanya memiliki nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan nasab ini berbeda dengan perdata. Sekalipun anak luar kawin punya hubungan perdata dengan ayah biologisnya, tapi ayah biologis tidak punya hubungan nasab dengan anak luar kawin. Misalnya, jika si anak berkelamin perempuan, ketika dia mau menikah maka ayah biologis tidak bisa menjadi wali nikah. Ini artinya tidak ada hubungan nasab antara ayah dan anaknya atau tidak ada hubungan yang sah antara anak dan ayah.
Masih dalam hukum Islam, Djubaedah memaparkan anak luar kawin juga tidak bisa mendapat warisan dari ayah biologisnya. Tapi bukan berarti anak luar kawin tidak boleh mendapat harta peninggalan dari orang tuanya. Anak luar kawin bisa mendapat harta peninggalan ayah biologisnya melalui beberapa cara. Misalnya, ayah biologis si anak membuat surat wasiat, bisa juga anak tersebut mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk mendapat wasiat wajibah. Besaran harta penginggalan bagi anak luar kawin tidak boleh melebihi ahli waris sah yang mendapat bagian paling kecil.
“Jadi dari seluruh harta peninggalan itu dikeluarkan dulu sepertiga bagian untuk anak luar kawin, setelah itu untuk ahli waris,” urai Djubaedah. Besaran yang sama juga berlaku bagi harta peninggalan untuk anak luar kawin yang diberikan dalam bentuk hadiah atau hibah.
Terkait hubungan perdata antara ayah biologis dan anak, artikel Klinik Hukumonline bertajuk “Hubungan Perdata Anak Luar Kawin dengan Ayahnya Pasca-Putusan MK”, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Tujuan dari MK adalah untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.
Penting untuk dicatat bahwa putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut soal akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan.
Mengenai konsekuensi hukum dengan dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap anak luar kawin ialah di dalam akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum nama ibunya. Karena pada saat pembuatan akta kelahiran, status sang anak masih sebagai anak luar kawin yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja.
Dalam akta kelahiran anak luar kawin tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak dengan tercantum nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, hubungan antara anak luar kawin dengan bapaknya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subyek hukum yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin untuk bertindak sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum.
Dengan kata lain, setidaknya ada dua cara untuk dapat menjadikan sang anak luar kawin memiliki hubungan darah dan juga hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya, yaitu; .pengakuan oleh sang ayah biologis; atau pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak luar kawin tersebut.
Putusan MK hanya menguatkan kedudukan ibu dari si anak luar kawin dalam memintakan pengakuan terhadap ayah biologis dari si anak luar kawin tersebut, apabila si ayah tidak mau melakukan pengakuan secara sukarela terhadap anak luar kawin. Dengan diakuinya anak luar kawin oleh ayah biologisnya, maka pada saat itulah timbul hubungan perdata dengan si ayah biologis dan keluarga ayahnya.
Dengan demikian, setelah adanya proses pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut, maka anak luar kawin tersebut terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dengan ayahnya sebagaimana diatur Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang berbunyi: Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.
Dalam hal ini, penting untuk dicatat bahwa anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang) tidak boleh diakui. Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPer.