Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam praktik di pemerintahan telah berlangsung lama. Kebijakan ini dikuatkan dengan UU No.9 Tahun 2018 tentang PNBP. Bila ditelusuri lebih jauh ada terdapat banyak jenis PNBP. Teranyar, mengakses tiap Nomor Induk Kependudukan (NIK) pun bakal dikenakan tarif berkisar Rp1000. Lantas apa yang menjadi alasan pemerintah mengenakan tarif PNBP NIK?
Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, Prof Zudan Arif Fakrulloh mengatakan pengenaan tarif NIK bukan tanpa alasan dan pertimbangan mendasar. Menurutnya, kebijakan tersebut memiliki pertimbangan dan alasan. Pertama, dikarenakan adanya jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan. Kedua, sebagai bagian dalam menjaga sistem Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) tetap beroperasi.
Ketiga, sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan akurasi data. Maklum, beban pelayanan makin bertambah. Sementara jumlah penduduk dan lembaga pengguna pun bertambah. Bila dahulu jumlah lembaga pengguna data kependudukan hanya 30, saat ini menjadi 5.010 lembaga yang telah resmi bekerja sama. Tapi sayangnya, anggaran dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terus menurun.
Zudan menerangkan sektor usaha yang bakal dibebankan tarif NIK, seperti lembaga swasta yang mengedepankan profit oriented. Seperti lembaga perbankan, asuransi, pasar modal, sekuritas. Sedangkan di sektor pemerintahan, Kementerian/Lembaga negara, Pemerintah Daerah (Pemda) serta lembaga pelayanan publik bersifat gratis. Seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ataupun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
“Tidak ada hak akses yang diberikan kepada perorangan. Hak Akses ini hanya untuk lembaga berbadan hukum,” ujarnya melalui keterangannya, Senin (18/4/2022).
Menurutnya, melalui kebijakan tersebut, pihaknya tidak mencari pendapatan, tapi hanya tambahan bagi APBN agar sistem Dukcapil tetap terjaga pelayananya. Nantinya PNBP hasil pengenaan tarif NIK bakal dimanfaatkan bagi perawatan dan peremajaan infrastruktur server dan storage Direktorat Jenderal (Ditjen) Dukcapil dalam melayani masyarakat dan lembaga pengguna.
Lebih lanjut Zudan menerangkan dalam PNBP, jasa layanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan tidak menjual ataupun memberi data. Baginya, lembaga pengguna telah memiliki data nansabah atau calon nasabah dan diverifikasi Dukcapil. Dalam prosesnya, Dukcapil hanya memberi verifikasi data seseorang dengan notifikasi sesuai atau tidak sesuai.
Soal jaminan pemerintah atas keamanan NIK yang diberikan ke sektor swasta, Zudan punya jawaban. Menurutnya, sektor swasta yang memanfaatkan akses data kependudukan mesti melalui berbagai persyaratan. Seperti telah menandatangani nota kesepahaman atau kerja sama, Proof of Concept (PoC), menandatangani Non Disclosure Agreement (NDA), dan Surat Pertanggungjawaban Mutlak (SPTJM) untuk mematuhi kewajiban menjaga dan melindungi data. Termasuk, dilarang memindahtangankan data pribadi orang meskipun sudah tidak bekerja sama.
“Dikenal dengan istilah zero data sharing policy. Para lembaga pengguna juga harus siap mengikuti ketentuan regulasi yang berlaku,” ujarnya.
Terpisah, Anggota Komisi II DPR Rifqinizami Karsayuda mengatakan komisi tempatnya bernaung bakal mempelajari kebijakan pengenaan tarif NIK sebesar Rp1.000 dari Ditjen Dukcapil Kemendagri. Langkah tersebut dilakukan Komisi II agar pengawasan pengelolaan dana ini dapat dilakukan secara akuntabel dan sesuai dengan UU 9/2018.
Diharapkan penggunaan dana sesuai dengan tujuan Ditjen Dukcapil dalam melakukan perawatan server ataupun media informasi teknologi lainnya. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berharap penarikan/pemungutan tarif NIK tidak dibebankan ke masyarakat. Sebaliknya, pengenaan tarif bakal dikecualikan bagi pelayanan publik, bantuan sosial, dan penegakan hukum.
“Saat ini Kemendagri sedang menyusun regulasi tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) layanan pemanfaatan data adminduk oleh user yang saat ini sudah memasuki tahap paraf koordinasi antarkementerian atau lembaga,” katanya.