Ada beragam persoalan hukum berkaitan dengan perkawinan di Indonesia. Salah satunya pelaku perkawinan yang tidak melaporkan perkawinan mereka ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Padahal, perkawinan membawa konsekuensi pada perubahan dokumen kependudukan. Pada periode 2017-2021 tercatat jumlah penduduk yang mengalami perubahan status kawin di dalam kartu keluarga menjadi kawin sebanyak 13.473.285 jiwa.
Data dan kondisi itu disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh dalam webinar bertajuk “Meneropong Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia”, Sabtu (6/11/2021). “Ada masalah praktik perkawinan di Indonesia,” ujarnya dikutip dari hukumonline.com.
Zudan memaparkan lima hal yang menjadi penyebab persoalan praktik perkawinan di Indonesia. Pertama, multitafsir ketentuan sah tidaknya suatu perkawinan. Ketentuan perkawinan di Indonesia secara umum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu”.
Bagi sebagian kalangan rumusan norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sudah gamblang, sahnya pernikahan dilakukan menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya masing-masing. Namun demikian, Zudan menjelaskan, ada ayat (2) pasal yang sama yang menyebutkan setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada yang berpendapat bahwa prinsipnya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menjadi ketentuan administratif atau bukti adminsitratif, dan tidak berkaitan dengan masalah sah atau tidaknya suatu perkawinan. Dalam perkawinan menurut agama Islam, ada syarat dan rukun nikah. Sepanjang memenuhi syarat dan rukun nikah, secara agama pernikahan dinilai sah.
Kedua, pencatatan perkawinan. Tujuan utama pencatatan pernikahan/perkawinan adalah merealisisasikan tertib admnistratif perkawinan dalam masyarakat. Selain itu, percatatan berguna menjamin tegaknya hak-hak suami dan istri dalam sebuah perkawinan membina rumah tangga. Ada hak-hak suami dan hak-hak isteri yang timbul akibat perkawinan. Selanjutnya kesadaran masyarakat akan hukum dan pentingnya pencatatan perkawinan belum sepenuhnya dilaksanakan. Ini dapat dilihat dari banyaknya praktik nikah siri yang dilakukan di depan pemuka agama. Begitupula pencatatan perkawinan hanya dipandang sekadar tindakan administratif yang tak ada pengaruhnya terhadap keabsahan suatu perkawinan.
Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah menegaskan, “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatatan dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
Zudan juga mengutip Penjelasan umum UU Perkawinan. Angka 4.b Penjelasan Umum menyebutkan, “…tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
“Bila tidak ada surat keterangan atau akta nikah, apakah peristiwa penting tersebut dianggap tidak ada? Bila tidak ada akta atau surat keterangan, apakah bayi yang lahir, kematian dan perkawinan yang sudah terjadi dianggap tidak ada?” Menurut Zudan, pertanyaan ini harus dicarikan solusi.
Ketiga, perkawinan menurut adat. Perkawinan dalam pandangan adat memiliki makna, tidak saja sebagai perikatan perdata semata, namun pula perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Berdasarkan data Kementerian Sosial, di Indonesia terdapat 2.300 komunitas adat terpencil yang erat dengan tradisi dan budaya lokal. Perkawinan yang dilakukan secara adat dan banyak belum dilakukan pencatatan oleh negara. Seperti suku anak dalam, masyarakat adat Baduy, dan masyarakat adat atau suku-suku di Papua. “Walapun belum dicatat oleh negara, mereka sudah mau mendaftarkan perkawinannya ke Dinas Dukcapil, agar masuk ke dalam kartu keluarga (KK),” ujarnya.
Keempat, nikah siri. Nikah siri sering dipahami sebagai nikah rahasia atau nikah di bawah tangan (tidak didaftarkan pada pencatatan perkawinan). Setidaknya terdapat tiga indikator yang menyertai perkawinan: subjek hukum akad nikah, seperti calon suami dan istri, wali nikah dan dua orang saksi; kepastian hukum dengan hadirnya pegawai pencatatan pernikahan saat akad nikah; dan walimatul arusy’. “Indikator yang paling banyak tidak dipenuhi dalam pernikahan siri yaitu indikator ketiadaan pegawai pencatatan pernikahan dan walimatul arusy’,” ujarnya. Ada juga perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum agama di luar enam agama yang diakui negara, dan perkawinan yang dilaksanakan menurut penghayat kepercayaan.
Kelima, perkawinan antaragama. Menurut Zudan, sebelum terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan antaragama disebut sebagai perkawinan campuran. Pasal 1 Regeling op de Gemengde Huwelijken (Staatsblaad 1898 No.158) menyebutkan, “Perkawinan campuran adalah antar orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Sementara Pasal 7 menyatakan perbedaan agama, bangsa atau asal bukanlah menjadi halangan perkawinan.
Bandingkan dengan rumusan Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan, “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Dengan demikian, yang dimaksud dalam Pasal 57 UU Perkawinan hanya menunjuk pada perbedaan kewarganegaraan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) Neng Zubaidah berpandangan sahnya suatu perkawinan merujuk pada rumusan norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Sementara sumber pencatatan pernikahan dan hak asasi manusia bersumber dari konstitusi Pasal 28J ayat (1) dan (2) dengan terdapat frasa ‘wajib’. Ada juga putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 terkait perkawinan dan pencatatan perkawinan yang dapat dijadikan rujukan.
Namun demikian, pencatatan perkawinan bukanlah menjadi faktor menentukan sahnya suatu perkawinan. Pencatatan suatu perkawinan hanya menjadi kewajiban adminsitratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bagi Neng Zubaidah, fungsi pencatatan perkawinan menurut Pasal 5 ayat (1) kompilasi hukum Islam (KHI), untuk menjamin ketertiban masyarakat. “Bukan menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan,” katanya.
Menurutnya banyak orang melupakan UU No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan, “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah”.