Sengketa pemegang saham pada perseroan merupakan suatu risiko yang dapat terjadi. Ketidakharmonisan para pemegang saham dapat berkembang jadi konflik-konflik sifatnya manajerial kemudian sehingga ketidakharmonisan dalam menjalankan perseroan. Sehingga, strategi penyelesaian sengketa pemegang saham sangat dibutuhkan agar tidak mengganggu roda bisnis perseroan.
Melihat kebutuhan tersebut, dikutip dari Hukumonline mengadakan Webinar dengan topik “Memilih Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemegang Saham dalam Perseroan dan Implikasinya” pada Kamis, (21/4). Kegiatan ini ditujukan untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai penyelesaian sengketa pemegang saham beserta implikasinya bagi perusahaan. Sebagai pemateri yaitu Prawidha Murti, selaku Partner dari Oentoeng Suria & Partners in association with Ashurst.
Webinar ini juga membahas hal-hal seperti bagaimana kedudukan hak dan tanggung jawab pemegang saham dalam perseroan. Selain itu, terdapat pembahasan mengenai sengketa internal perseroan secara umum dan penyebabnya, bentuk sengketa internal, metode penyelesaian sengketa internal, kelebihan dan kekurangan pilihan mekanisme penyelesaian sengketa pemegang saham, risiko dan implikasi dari penyelesaian sengketa pemegang saham terhadap perseroan, pertanggung jawaban terbatas dan aplikasi Business Judgement Rule, dan perlindungan saham minoritas dalam perseroan.
“Permasalahan share holder dispute ini tidak bisa dihindari karena ada dua kepentingan jadi satu sebagai amanah UU PT minimal dua pemegang saham dalam satu PT. Sehingga, saat memasuki perjanjian kemungkinan ada kepentingan satu sama lain. Ini tidak mungkin bisa dihindari, diminimalisir mungkin. perseroan. Siapapun pemegang sahamnya sengketa itu kemungkinan ada,” ungkap Prawidha.
Dia menjelaskan terdapat pemisahan tanggung jawab antara Pemegang Saham dengan PT, dikenal dengan istilah “separate legal personality” yaitu PT sebagai individu yang berdiri sendiri seperti yang diatur dalam Pasal 3 Undang Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Sementara itu, dia menjelaskan sengketa pemegang saham muncul karena perseroan dijalankan oleh direksi dan komisari bertujuan untuk memenuhi kepentingan sebagian pemegang saham. Hal tersebut menimbulkan rasa rugi pemegang saham lainnya.
“Ini lah yang menimbulkan share holder dispute karena pada akhirnya perseroan menjalankan kepentingan pemegang saham, bukan menjalankan kepentingan perseroan. Ini pasti akan merasa dirugikan karena tidak diakomodir dalam perseroan tersebut,” ungkap Prawidha.
Tanggung jawab secara pribadi pemegang saham antara lain dalam hal persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Kemudian, pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Secara teknis, terdapat dua alternatif penyelesaian sengketa pemegang saham yaitu litigasi dan non-litigasi. Untuk litigasi dapat melalui pengadilan, laporan polisi dan arbitrase. Sedangkan non-litigasi antara lain negosiasi/mediasi, RUPS Luar Biasa, melaksanakan exit option seperti share sell and purchase antara pemegang saham, share sale and purchase kepada pihak ketiga.
Melalui proses litigasi dinilai perseroan akan merugi akibat hasil dari sengketa yang tidak berujung perdamaian. Pemegang saham yang bersengketa harus menanggung biaya hukum untuk penyelesaian secara win-lose. Keputusan / hasil akhir penyelesaian sengketa akan menjadi mengikat secara otomatis dan dapat dilaksanakan (eksekusi). Hanya akan ada satu pihak yang diuntungkan. Hubungan bisnis dapat putus sepenuhnya. Berkemungkinan dilawan kembaliseperti melalu gugat-balik (rekonvensi).
Sementara melalui proses non-litigasi, perseroan dapat ‘diselamatkan’ dari sengketa berkepanjangan. Penyelesaian cenderung singkat dan dapat menguntungkan kedua belah pihak. Kurangnya peran negara atau institusi berwenang (seperti negara atau arbitrase) dapat mengurangi kekuatan pelaksanaan dari hasil kesepakatan. Penyelesaian didasarkan pada kesukarelaan para pihak untuk berdamai (voluntary).