Permohonan judicial review UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) kembali diterima Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini diajukan oleh beberapa kurator atau pengurus yang tergabung dalam Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI).
Tercatat sebagai pemohon adalah Tommy Chandra Kurniawan, Daniel Maringantua Warren Haposan Gultom, Mira Sylvania Setianingrum, dan Lingga Nugraha. Permohonan tersebut telah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi elektronik pada Senin (14/3/2022) dengan nomor perkara 38/PUU-XX/2022. Permohonan ini menunggu jadwal sidang pemeriksaan pendahuluan.
“Kaitannya mengenai judicial review terhadap Pasal 235 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 235 ini sebelumnya sudah pernah dilakukan judicial review, sudah ada putusan juga pada Putusan MK No.23/PUU-XIX/2021,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Rendy Anggara Putra ketika dikonfirmasi dan dikutip dari Hukumonline melalui sambungan telepon, Kamis (31/3/2022).
Selengkapnya, Pasal 235 UU Kepailitan dan PKPU berbunyi “(1) Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. (2) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226.”
Sebelumnya, dalam Putusan MK No.23/PUU-XIX/2021, Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor.
Artinya, putusan-putusan PKPU yang semula tidak dapat diajukan upaya hukum apapun menjadi dapat diajukan upaya hukum kasasi dengan syarat diajukan oleh kredtor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Sebelumnya, terbitnya putusan MK ini, UU Kepailitan dan PKPU hanya memberi peluang upaya hukum terhadap putusan pailit.
Para pemohon menilai putusan MK itu dapat berdampak dengan variabel-variabel lain termasuk posisi pengurus PKPU. Para pengurus PKPU yang diangkat setelah putusan PKPU dikabulkan di tingkat Pengadilan Niaga, yang seharusnya sudah (selesai) melakukan pekerjaannya pasca dikabulkannya putusan PKPU justru malah menjadi terhambat karena mempertanyakan apakah tindakan-tindakannya harus menunggu putusan kasasi kabul terlebih dahulu atau tidak.
“Oleh karenanya yang kami minta Mahkamah untuk memperluas makna Pasal 235 yang sudah pernah diuji ini. Terhadap putusan PKPU yang bisa diajukan kasasi, tindakan-tindakan pengurus tetap sah dan mengikat meskipun diajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU tersebut. Kalau maknanya seperti itu, menurut kami Pasal 235 konstitusional,” tutur Rendy.
Sebaliknya, jika kemudian tindakan pengurus PKPU dianggap tidak sah dan mengikat, maka timbul pertanyaan baru siapa nanti yang akan bertanggung jawab terhadap biaya-biaya kepengurusan serta fee pengurus apabila putusan kasasinya ternyata membatalkan putusan PKPU?
Dari kekosongan hukum yang ada, Rendy memandang potensi adanya posibilitas terjadinya dispute (konflik/sengketa). Disitulah letak hak konstitusional para pemohon yang dilanggar yang dijamin Pasal 28D UUD 1945 terkait hak setiap orang atas pengakuan dan jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
“Jadi kita tidak menganulir putusan MK sebelumnya, cuma kita minta memperluas saja maknanya. Karena adanya kekosongan hukum dan adanya potensi dispute dalam pelaksanaannya dan akan mempersulit hakim pengawasnya juga bingung ketika mengajukan penetapan surat harian. Dalam putusan PKPU itu harus segera diumumkan di koran kalau pengurusnya tidak bersedia karena debiturnya mengajukan kasasi, tidak ada juga sanksinya, seperti apa jadinya? Kan kita bingung,” keluhnya.
Rendy membandingkan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan kewenangan kurator dalam melaksanakan tugas kepengurusan dan/atau pemberesan harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Lebih lanjut Pasal 16 ayat (2)-nya menyebutkan dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali segala perbuatan yang telah dilakukan sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan (pailit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat debitur (pailit).
Hal tersebut berarti dalam “rezim” kepailitan dalam UU Kepailitan dan PKPU telah jelas diatur sarananya. Disebutkan bahwa kurator tetap diakui tindakannya sah dan mengikat walaupun dalam putusan kasasinya putusan pailit terhadap debitur tersebut dibatalkan. Dengan demikian, ia menilai seharusnya perihal (mekanisme eksekusi) putusan PKPU diterapkan hal yang sama agar tidak terjadi permasalahan yang timbul akibat putusan MK tersebut.
“Kan tujuan PKPU ini untuk melakukan perdamaian. Nah, kita tidak tahu kapan putusnya. Berapa lama putusan kasasi terhadap putusan PKPU itu. Apakah 3 bulan, 4 bulan? Jangan-jangan ketika PKPU-nya berjalan sudah selesai baru keluar putusannya membatalkan PKPU? Lalu bagaimana tindakan-tindakan sebelumnya? Banyak potensi masalah yang akan terjadi.”
Alhasil, dari aturan hukum yang dipandang belum jelas itu hanya akan mengorbankan para kreditur ataupun debitur. Bukan hanya pelaku usaha swasta, tetapi dampaknya cukup luas hingga pelaku usaha sektor BUMN yang sering menjadi pihak dalam proses PKPU atau kepailitan dapat terseret menjadi korban.
Para pemohon berharap permohonan ini dapat dikabulkan. Sebab, permohonan tersebut dianggap cukup krusial dalam praktik penanganan perkara kepailitan atau PKPU di pengadilan. PKPU ini marwahnya adalah perdamaian antara kreditur dengan debitur terkait hutang piutang agar dapat terselesaikan.
“Tapi kalau aturan hukumnya ada yang abu-abu, maka ini akan menyulitkan dalam penerapannya di lapangan. Selanjutnya, kita masih menunggu panggilan untuk sidang pertama,” katanya.