Ini 6 Poin Masukan Peradi RBA terhadap RUU Hukum Acara Perdata

Avatar photo

- Jurnalis

Senin, 6 Juni 2022 - 10:01 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Doc: Hukumonline.com

Doc: Hukumonline.com

PIJAR-JAKARTA – Proses perumusan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Perdata masih menyerap aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan. Tak hanya dari kelompok elemen masyarakat, termasuk sejumlah organisasi advokat. Salah satunya, Perhimpunan Advokat Indonesia Rumah Bersama Advokat (Peradi RBA). Ada sejumlah masukan dalam upaya memperbaharui hukum acara perdata (KUHPerdata) yang selama ini berlaku merupakan peninggalan kolonial Belanda.

Wakil Ketua Umum Peradi RBA, Roy Rening mengatakan upaya pembaharuan hukum acara perdata ini agar hukum dapat menjadi lebih adaptif dan bisa mengikuti perkembangan zaman dan dinamika di masyarakat. Dengan adanya pembaharuan hukum acara perdata, setidaknya dapat memberikan akses dan perlindungan yang memadai, khususnya bagi kelompok rentan.

Sebagai organisasi advokat, Peradi RBA sebagai bagian dari komunitas hukum Indonesia menilai proses pembaruan hukum perlu melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi. Khususnya dari kelompok masyarakat yang paling terdampak dari sebuah aturan produk DPR dan pemerintah yang bakal diundangkan.

“Organisasi advokat juga turut mewarnai pembentukan hukum di Indonesia, khususnya mengenai hukum acara. Misalnya dalam konteks pembentukan Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana. Peradi secara khusus, bersama–sama dengan kelompok masyarakat lain, juga turut memberikan rekomendasi dan masukan terhadap Rancangan KUHAP yang telah menjadi usul inisiatif DPR,” ujar Roy Rening dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di ruang Komisi III DPR, Kamis (2/6/2022) kemarin.

Wakil Sekretaris Jenderal Peradi RBA, Muhammad Daud Bereuh melanjutkan khusus RUU Hukum Acara Perdata, Peradi memberikan 6 masukan kunci yang penting untuk mendapat perhatian dari pembentuk UU. Pertama, mengenai perlindungan warga negara. Menurutnya RUU Hukum Acara Perdata memang mengatur soal gugatan perwakilan kelompok dan organisasi kemasyarakatan.

Tapi sayangnya, RUU Hukum Acara Perdata belum mengatur soal hak gugat warga negara (citizen law suit) yang telah lama dikenal dan dipraktikkan masyarakat sejak adanya kasus pekerja migran Indonesia di Nunukan. Tak hanya itu. Peradi pun meminta agar syarat bukti pendaftaran organisasi untuk dapat mengajukan hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dihapus.

Baca Juga :  Fantasis, Nilai Uang Korupsi Mensos Juliari yang Disita KPK

“Peradi RBA meminta agar ada pengaturan lebih rinci mengenai prosedur gugatan perwakilan kelompok,” ujarnya.

Kedua, alat bukti. Bagi Peradi, kata Daud, bila masih terdapat kekurangan dalam sistem pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia. Khususnya dalam hal mengenai (a) Pengumpulan alat bukti (collection of evidence); (b) Pengamanan alat bukti (preservation of evidence); dan (c) Penerimaan alat bukti (admissibility of evidence). Karenanya, Peradi meminta agar para pihak yang berperkara dapat mengajukan permohonan khusus kepada pengadilan. Seperti pengumpulan alat bukti, pengamanan alat bukti, dan juga penerimaan alat bukti oleh para pihak yang berperkara.

Ketiga, mengenai penyangkalan pemberian kuasa. Menurutnya, penyangkalan pemberian kuasa perlu dihapus. Selain penyangkalan telah diatur dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, juga diatur secara khusus dalamKode Etik Advokat Indonesia. Dalam RUU Hukum Acara Perdata, penyangkalan pemberian kuasa diatur dalam Pasal 26 sampai Pasal 32. Namun, ada beberapa alasan perlunya dihapus pengaturan penyangkalan pemberian kuasa.

Antara lain pengaturan tersebut malah membuka pintu terhadap praktik tidak terpuji. Misalnya pemberi kuasa (advokatnya, red) dapat menjadikan lembaga penyangkalan untuk mengubah posisi hukum pada saat sidang berjalan saat bukti-bukti pihak lawan telah diketahui. Bahkan lembaga penyangkapan dapat membuat proses penanganan perkara menjadi tidak efisien.

Keempat, mengenai Lembaga Penyanderaan (Gijzeling). Menurutnya, berbagai kovenan dan konvensi internasional mengenai hak asasi manusia (HAM) yang ada, pada pokoknya melarang adanya penyanderaan atau penahanan dalam perkara-perkara perdata. Karenanya, Peradi RBA meminta agar lembaga penyanderaan tersebut dihapuskan dari draf RUU Hukum Acara Perdata.

Baca Juga :  Mengatasi Tantangan Perlambatan Ekonomi Global

Kelima, mengenai upaya perdamaian (mediasi). Baginya, perlu ada pengaturan rinci terkait dengan mediasi dengan mempertimbangkan berbagai aturan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung terkait mediasi agar pengaturannya menjadi lebih baik soal mediasi dalam RUU Hukum Acara Perdata nantinya. Dengan begitu, Peradi optimis penyelesaian suatu perkara dapat berlangsung secara lebih cepat, efisien, dan efektif.

Keenam, perihal pelaksanaan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Bagi Peradi RBA, kata Daud, perlunya pengaturan komprehensif mengenai pelaksanaan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetapmelalui RUU Hukum Acara Perdata. Mulai dari pengajuan permohonan annmaning, penelaahan permohonan, pemanggilan termohon annmaning dan penetapan eksekusi, mekanisme pengamanan dan biaya keamanan eksekusi, serta eksekusi groose akta.

Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta mengapresiasi sejumlah masukan yang diberikan Peradi RBA.  Namun, dia melihat masih banyak persoalan yang belum disoroti Peradi RBA disebabkan terbatasnya waktu. Dia meminta Peradi RBA melengkapi masukan lainnya dengan melibatkan sejumlah pakar hukum ataupun akademisi dan ahli. Wayan pun meminta agar Peradi RBA membaca semua Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Perma. Sebab, aturan yang diterbitkan MA cenderung lebih mudah diaplikasikan ketimbang dari UU.

“Coba baca semua SEMA/Perma, kemudian normakan menjadi pasal-pasal,” harapnya.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Hukum Acara Perdata, Adies Kadir menilai masukan dari Peradi menjadi bahan untuk memperkaya perumusan pasal-pasal dalam RUU KUHPerdata tersebut. Menurutnya, RUU Hukum Acara Perdata harus mampu merespon perkembangan zaman dan kebutuhan hukum di masyarakat.

“Kita berharap hasilnya nanti bisa kita gunakan untuk kerja-kerja penegakan hukum,” kata Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar itu.

Berita Terkait

KBRI Thailand Respons Cepat, Tujuh Pekerja Migran Asal Kalideres Akan Pulang ke Indonesia pada 8 Mei 2025
Mahkamah Agung Rotasi 199 Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri, Termasuk di Jakarta
Upaya Hukum Berlanjut: Pekerja Migran Indonesia Asal Kalideres Tertahan di Imigrasi Thailand
Lagi dan Lagi! ‘Wakil Tuhan’ Hakim Terjaring Hukum, Keadilan Kian Merana
Upaya Hukum untuk Tujuh Pekerja Migran Indonesia Asal Kalideres di Thailand
Waspada! Debt Collector Rampas Motor Kredit Macet, Hukuman Penjara Menanti
7 Pekerja Migran Kalideres Hilang Kabar di Thailand, YLBH Pijar Turun Tangan!
Polres Jakbar Bongkar Kasus Minyakkita Tak Sesuai Takaran, Satu diantaranya Pelaku Direktur Utama
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 2 Mei 2025 - 07:30 WIB

KBRI Thailand Respons Cepat, Tujuh Pekerja Migran Asal Kalideres Akan Pulang ke Indonesia pada 8 Mei 2025

Rabu, 23 April 2025 - 16:35 WIB

Mahkamah Agung Rotasi 199 Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri, Termasuk di Jakarta

Senin, 21 April 2025 - 21:24 WIB

Upaya Hukum Berlanjut: Pekerja Migran Indonesia Asal Kalideres Tertahan di Imigrasi Thailand

Minggu, 13 April 2025 - 11:33 WIB

Lagi dan Lagi! ‘Wakil Tuhan’ Hakim Terjaring Hukum, Keadilan Kian Merana

Sabtu, 12 April 2025 - 06:47 WIB

Upaya Hukum untuk Tujuh Pekerja Migran Indonesia Asal Kalideres di Thailand

Berita Terbaru

Berita

Waduk Aseni Terbengkalai, Gubernur DKI Masih Bungkam

Senin, 12 Mei 2025 - 07:00 WIB