PIJAR-JAKARTA – Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui aplikasi My Pertamina dapat menghilangkan akses masyarakat yang tidak mempunyai HP dan jaringan internet.
“Ada beberapa persoalan yang harus dikritisi. Yaitu, bagaimana dengan konsumen yang tidak memiliki gadget dan atau bahkan kuota internet saat mau beli BBM? Kemudian masalah keandalan internet di suatu daerah juga masih banyak gangguan,” ungkap Tulus pada Rabu (29/6).
Selain itu, pembelian melalui aplikasi juga mengakibatkan risiko antrean panjang saat pengisian BBM. “Secara operasional hal ini juga berpotensi membuat antrean panjang di area SPBU, bahkan crowded. Oleh karena itu, seyogyanya harus banyak petugas yang mengaturnya” tambah Tulus.
Meski demikian, dia menyatakan pembelian BBM subsidi melalui aplikasi memiliki tujuan untuk meringankan anggaran subsidi yang membengkak. Sebab, Tulus menyampaikan subsidi Rp 520 triliun termasuk listrik harus dikeluarkan pemerintah. “Istilah subsidi B agar tepat sasaran sejatinya absurd dan salah kaprah,” ungkap Tulus
Kemudian, penggunaan aplikasi memang perlu ditingkatkan mengingat perkembangan teknologi digital saat ini. “Pada konteks era digital instrumen pengendali dengan menggunakan aplikasi digital adalah hal yang rasional, termasuk dengan My Pertamina. Semua layanan publik yg dikelola BUMN saat ini berbasis mobile, aplikasi,” ungkap Tulus.
Sementara, anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus mendukung rencana Pertamina yang mewajibkan pembeli BBM bersubsidi, yakni solar dan pertalite menggunakan aplikasi “MyPertamina”.
“Menurut saya kerangka berpikirnya adalah keadilan distributif dalam penyaluran subsidi. Mekanisme yang ada saat ini tidak adil karena subsidi lebih banyak yang dinikmati oleh masyarakat mampu dari pada masyarakat yang berkekurangan,” kata Deddy dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu.
Dia mencontohkan, masyarakat mampu yang memiliki mobil, bahkan lebih dari satu dan juga mungkin motor, tentu menyerap subsidi lebih banyak dari pada mereka yang hanya punya satu atau dua motor dalam satu keluarga. Bahkan rakyat miskin yang tidak memiliki kendaraan, tidak mendapat manfaat apa pun dari subsidi BBM.
Padahal, subsidi yang semakin besar dan membebani anggaran negara dan Pertamina itu, mengurangi kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan dana subsidi yang lebih dibutuhkan oleh rakyat miskin, petani, nelayan, lansia, difabel dan UMKM.
“Jadi landasan berpikirnya adalah keadilan distributif dalam bentuk pengetatan penerima subsidi melalui sistem yang terpantau secara holistik dan real time,” ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.
Selain keadilan distributif, pemberlakuan sistem ini juga akan mampu menekan penyimpangan BBM subsidi di lapangan. Sehingga dapat ditekan merembes-nya BBM bersubsidi ke sektor industri, pertambangan, perkebunan dan penyelundupan.
“Di mana banyak terjadi di seluruh Indonesia dan terutama di daerah pedalaman, perbatasan, daerah pertambangan dan perkebunan serta daerah industri,” tuturnya.
Masalahnya, lanjut Deddy, memang ada masyarakat yang tidak memiliki akses pada sistem tersebut, seperti masyarakat miskin yang tak punya “smartphone” atau telepon pintar dan di daerah pedalaman.
Menurut dia, hal itu bisa dipecahkan dengan Pertamina membuat kartu semacam “e-toll” atau “e-money”. Kartu ini bisa digunakan di SPBU atau penyalur BBM untuk membeli BBM bersubsidi dengan kuota yang telah ditentukan.
“Datanya bisa diambil dari Kemensos atau Pemerintah Daerah dan melalui proses penyaringan dan verifikasi oleh Kementerian ESDM,” imbuhnya.