PIJAR-JAKARTA – Pada 2006 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut ‘ruh’ Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang kerap dijadikan “senjata” bagi polisi untuk menjerat para demonstran yang ditengarai atau diduga menghina presiden. Namun, dalam perumusan dan pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP), pengaturan penghinaan terhadap kepala negara muncul lagi. Lantas apa alasan pemerintah kembali memasukkan aturan tersebut?
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan ada beberapa alasan pemerintah mempertahankan pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam RKUHP. Pertama, di KUHP banyak negara di dunia, terdapat pasal dan bab yang berjudul penghinaan terhadap martabat kepala negara asing. Karena itu, menjadi hal wajar bila martabat kepala negara Indonesia pun dilindungi.
“Kira-kira masuk akal gak, kalau martabat kepala negara asing dilindungi, martabat kepala negara sendiri tidak dilindungi?” ujar Prof Edward Omar Sharif Hiariej saat memberi kuliah tamu di Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, pekan lalu.
Kedua, Tim Perumus KUHP dari pemerintah tak menghidupkan pasal yang telah dicabut MK. Tapi, kata Wamenkumham, yang dimatikan dan dicabut MK merupakan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam konteks yang merupakan delik biasa. Sementara dalam draf RKUHP tidak lagi delik biasa, tapi menjadi delik aduan.
Dengan begitu, yang berhak mengadu atau membuat laporan terhadap dugaan penghinaan terhadap kepala negara adalah kepala negara itu sendiri yang melaporkan ke kepolisian. Bagi sebagian masyarakat umum delik biasa dan delik aduan adalah hal yang sama. Padahal delik biasa dan aduan memiliki sifat yang berbeda. “Yang mengadu itu harus presiden sendiri, tidak boleh orang lain mengadu,” ujarnya.
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Ketiga, tidak sesuai dengan equality before the law. Menurutnya, mengapa penghinaan presiden bukanlah penghinaan biasa, toh presiden warga negara biasa. Baginya pandangan tersebut mudah ditampik. Di KUHP banyak negara terdapat pasal yang mengatur tentang makar yakni berupa pembunuhan terhadap presiden.
“Mengapa pasal itu tidak dihapus saja, kan ada pasal pembunuhan biasa. Mengapa presiden harus diistimewakan, ya memang harus diistimewakan. Tidak gampang menjadi presiden untuk 200-an juta penduduk. Selain itu, presiden adalah personifikasi negara. Jadi harus ekstra perlindungan negara. Jadi (pasal penghinaan terhadap kepala negara, red) kita tetap pertahankan,” tegasnya.
Terpisah, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kemenkumham, Dhahana Putra menjelaskan pasal penghinaan kepala negara dalam RKUHP, pemerintah membuat formulasi menjadi delik aduan. Kemudian laporan atau aduan pun dapat disampaikan secara tertulis kepada kepolisian. Ada anggapan sebagian masyarakat pasal tersebut seperti “zombie” karena sudah dibatalkan MK, tetapi hidup Kembali.
Namun, tim perumus RKUHP telah mengkomparasikan antara substansi pengaturan penghinaan presiden dalam KUHP dengan yang terdapat dalam draf RKUHP. Dia menegaskan dalam RKUHP yang dapat dipidana dengan pasal tersebut seperti menyerang harkat dan martabat kepala negara. Apalagi pejabat presiden dan wakil presiden dipilih mayoritas rakyat Indonesia melalui mekanisme pemilihan umum.
“Jadi dalam konteks seperti ini kami sangat membutuhkan pasal itu, tapi juga kami berikan batasan. Batasannya adalah kalau sifatnya kritik misalkan presiden enggak bagus dari segi programnya, presiden enggak mampu mengaplikasikan programnya, itu hanya kritik, itu tidak dipidana. Tapi kalau menyerang harkat dan martabatnya itu bisa dipidana,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen.
Sementara Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat keberadaan pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP bermula Indonesia dijajah Belanda. Sementara di Belanda, terdapat ratu yang jabatannya seumur hidup, serta dapat diganti setelah meninggal dunia. Karenanya, ratu harus dilindungi melalui hukum pidana. “Itulah kenapa tidak boleh dihina, itulah penghinaan terhadap presiden,” ujarnya.
Akan tetapi, di negara demokrasi seperti Indonesia pemilihan pemimpin nasional berupa pejabat presiden dan wakil presiden melalui mekanisme pemilihan umum lima tahunan, pasal penghinaan kepala negara dalam RKUHP sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian. “Kalau menurut saya itu sudah enggak relevan karena sebenarnya kata Presiden itu lembaga, institusi, bukan orang,” ujarnya.
Sebaliknya, bila pejabat presiden dihina secara pribadi, maka dapat dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP yang berlaku saat ini, sehingga pejabat presiden masih dapat menuntut ketika dirinya dihinakan atau dilecehkan. Sebaliknya, ketika penghinaan terhadap lembaga kepresidenan, semestinya tak ada lagi tindak pidana penghinaan terhadap presiden. “Karena kita memilihnya sebagai negara demokrasi.”