PIJAR | JAKARTA – Kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat mendapat pelayanan publik menjadi sorotan sejumlah kalangan. Sebagaimana diberitakan media, ada sebagian masyarakat yang kaget ketika ingin mendapatkan pelayanan publik, tapi dikenakan syarat wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan terlebih dulu, seperti sebagai syarat jual beli tanah (pengurusan sertipikat tanah), penerbitan SIM, STNK, SKCK, hingga IMB. Ada pandangan yang menyebutkan pengenaan syarat itu tidak tepat.
Padahal pengaturan sanksi administratif berupa “tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu” sudah tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Setiap orang wajib mengetahui ada beragam sanksi administratif yang bisa dikenakan kepada pihak yang melanggar aturan jaminan sosial yang diselenggarakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pelanggaran itu antara lain terkait pendaftaran kepesertaan dan penyampaian data secara lengkap.
Beleid itu kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No.86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Kedua regulasi itu mengatur ada 3 jenis sanksi adminstratif meliputi teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapatkan sanksi pelayanan publik tertentu. Pengenaan sanksi teguran tertulis diberikan paling banyak 2 kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 hari kerja. Pengenaan sanksi denda diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 hari sejak berakhirnya pengenaan sanksi teguran tertulis kedua. Sanksi teguran tertulis dan denda itu dilakukan oleh BPJS.
Nah, untuk pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota atas permintaan BPJS. “BPJS dalam meminta pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu sebagaimana ayat (1) berkoordinasi dengan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau kabupaten/kota,” begitu bunyi Pasal 8 ayat (2) PP No.86 Tahun 2013.
Pengenaan sanksi terhadap pemberi kerja selain penyelenggara negara dan setiap orang selain pekerja/buruh, dan PBI yang dilakukan oleh pemerintah, atau pemerintah daerah untuk pelanggaran Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan dengan mempersyaratkan kepada mereka untuk melengkapi identitas kepesertaan jaminan sosial dalam mendapat pelayanan publik tertentu.
Untuk pelanggaran Pasal 3 ayat (1) huruf b dan Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan pemerintah, atau pemerintah daerah setelah mendapat surat permohonan pengenaan sanksi dari BPJS.
Totalnya, ada 10 jenis sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dapat dikenakan terkait pelanggaran terhadap persyaratan kepesertaan BPJS. Dari 10 jenis itu 5 diantaranya dikenakan kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara meliputi: perizinan terkait usaha; izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; izin mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA); izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (alih daya atau outsourcing, red); atau izin mendirikan bangunan (IMB).
5 jenis sanksi lainnya dikenakan kepada setiap orang selain pemberi kerja, pekerja/buruh, dan PBI meliputi: IMB; surat izin mengemudi (SIM); sertifikat tanah; paspor; atau surat tanda nomor kendaraan (STNK).
“Pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh unit pelayanan publik pada instansi pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota,” demikian bunyi Pasal 9 ayat (3) PP No.86 Tahun 2013 ini.
Sebelumnya, terbit Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN. Inpres yang diterbitkan pada 6 Januari 2022 itu ditujukan kepada 23 Menteri; Jaksa Agung; Kapolri; Kepala BP2MI; Direksi BPJS Kesehatan; Gubernur; Bupati dan Walikota; serta Ketua DJSN.
Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk melakukan upaya agar peserta penerima kredit usaha rakyat (KUR) menjadi peserta aktif program JKN. Menteri Dalam Negeri, antara lain diinstruksikan untuk menyediakan akses data penduduk berbasis NIK untuk dapat dimanfaatkan sebagai data kepesertaan JKN. Mendorong Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mewajibkan pemohon perizinan berusaha dan pelayanan publik di daerah menjadi peserta aktif JKN.
Kapolri juga diperintahkan untuk melakukan penyempurnaan regulasi untuk memastikan pemohon surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) adalah peserta aktif dalam program JKN. Serta meningkatkan penegakan hukum terkait kepatuhan pembayaran iuran JKN.