Terjadinya kekerasan sebagai alasan dari perceraian rumah tangga bukan merupakan isu baru. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang dialami para ibu rumah tangga ataupun anak memiliki kecendrungan yang naik. Berdasarkan total data Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) dari Komnas Perempuan, Lembaga Layanan, dan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI (Badilag MA RI), selama Tahun 2021 terdapat peningkatan 50% laporan ketimbang tahun 2020. Bahkan jumlah di tahun 2021 tercatat jauh lebih tinggi dari masa-masa sebelum pandemi.
“Ada beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan yang mengakibatkan (berujung, red) perceraian,” ujar Dirjen Badan Peradilan Agama MA MA, Aco Nur dalam Peluncuran Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022 (Data Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2021), Senin (7/3/2022) kemarin.
Aco memaparkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI terbagi dalam 4 bentuk kekerasan. Satu, kekerasan fisik. Dua, kekerasan psikis atau emosional. Tiga, kekerasan seksual. Empat, kekerasan ekonomi. Dari beberapa bentuk kekerasan tersebut, menjadi alasan perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama pada tahun 2021 sejumlah 484.734 perkara. Rinciannya, terdiri atas perselisihan terus-menerus sebanyak 279.548 perkara; Ekonomi sebanyak 113.440 perkara; dan meninggalkan salah satu pihak 42.441 perkara.
Lebih lanjut, presentase perkara perceraian diklasifikasikan pula berdasarkan tingkat Pendidikan. Pendidikan SMA ke bawah mendominasi perkara perceraian di Indonesia yakni 87,02% dari total perkara 483.229 perkara. Rincian dari total tersebut pada tingkat pendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD sebesar 0,74%; berlatar belakang SD 21,62%; Pendidikan akhir SMP 25,08%; sedangkan yang terakhir menjajaki kursi SMA 39,59%.
Dia mengatakan pencegahan yang dapat dilakukan menurut Peradilan Agama ada lima. Pertama, upaya meningkatkan taraf pendidikan oleh pemerintah. Kedua, upaya meningkatkan kualitas ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja oleh pemerintah. Ketiga, upaya pencegahan perkawinan dini secara formal maupun non formal. Kempat, sosialisasi mengenai perkawinan kepada masyarakat. Kelima, peningkatan layanan kesehatan masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menjelaskan dari data yang dimiliki Badilag MA tersebut telah menunjukkan akan adanya persoalan KBG terhadap perempuan di lingkup perkawinan dan berumah tangga. Data perceraian memperlihatkan bahwa perceraian menjadi jalan keluar dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bagi korban.
Bukan tanpa alasan, sebab penanganan kasus KDRT masih diwarnai ragam penundaan berlarut, saling melaporkan, dan justru berujung dengan penyelesaian melalui mediasi. Sementara itu, korban KDRT mendapat dampak psikis yang amat besar dari kekerasan yang diterimanya.
Nahas, pemulihan terhadap korban sampai saat ini masih belum mendapatkan atensi serius sebagaimana mestinya. Padahal menurut pemantauan Komnas Perempuan, perempuan berpotensi menjadi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Hal ini dapat ditemukan pada Rumah Sakit Jiwa di Abepura, dimana 50% penghuninya adalah korban KDRT dan korban kekerasan dalam pacaran.
Dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan, hanya sedikit informasi yang tersedia. Tepatnya, hanya sekitar 12% dari total kasus yang dicatatkan oleh Lembaga Layanan dan Komnas Perempuan.
“Upaya pelesaian lebih banyak secara hukum sebesar 12 persen, dibandingkan dengan cara non hukum 3 persen. Bahkan banyak kasus tidak ada informasi penyelesaiannya sebesar 85 persen. Ada berbagai hal jadi kendala dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan berbasis gender pada perempuan, termasuk dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya,” bebernya.
Dia melihat terdapat sejumlah masalah yang dihadapi dalam memberantas KGB, seperti keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus, SDM, fasilitas dan anggaran. Di tengah peningkatan kasus-kasus KBG terhadap perempuan yang semakin kompleks, penanganan kasus yang amat terbatas ini dikhawatirkan hanya akan akan menyebabkan stagnansi dalam hal kapasitas penyikapan kasus.