PIJAR | JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat Bupati nonaktif Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid. Agar lebih fokus mendalami kasus itu, tim penyidik menjadwalkan pemeriksaan 12 saksi.
“Pemeriksaan dilakukan di Polres Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam siaran persnya, Rabu (5/1/2022).
Adapun 12 saksi yang akan dimintai keterangan antara lain, PPAT Maulana Firdaus, pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) Tahuddin Noor, pedagang mobil bekas Noor Elhamsyah, staf Bina Marga Ridha, mantan ajudan Bupati Hadi Hidayat, dan PT Prima Mitralindo Utama Barkati.
Selanjutnya, sales Ferry Riandy Wijaya, kontraktor Muhammad Muzakkir, dan empat pihak swasta Muhammad Fahmi Ansyari, Farhan, Abdul Halim, serta Abdul Hadi.
Sebagai informasi, KPK mengembangkan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) pada 2021 sampai 2022 yang menjerat Bupati nonaktif HSU Abdul Wahid.
Sekarang, Abdul Wahid dijerat sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).
KPK menemukan bukti yang cukup untuk menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka TPPU.
Abdul Wahid dianggap telah menuduhkan aset korupsi ke dalam bentuk lain dan dianggap menggunakan nama pihak lain.
Kasus yang menjerat Abdul Wahid ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT). Dalam OTT, KPK tujuh orang.
Tiga di antaranya dicurigai sebagai tersangka suap pengadaan barang dan jasa dalam dua proyek lelang Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR pada dua desa di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Ketiganya adalah Maliki sebagai Plt Kadis PU pada Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) dan kuasa pengguna anggaran (KPA), Marhaini sebagai CV Hanamas, dan Fachriadi sebagai Direktur CV Kalpataru.