PIJAR-JAKARTA – Independensi hakim merupakan salah satu hal yang penting dalam penegakan hukum, khususnya dalam proses peradilan. Sebab, independensi hakim akan yang selalu membawa tegaknya hukum yang berkeadilan.
Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Dwiarso Budi Santiarto, mengatakan independensi hakim dijamin Pasal 24 UUD Tahun 1945 dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. Menurutnya, negara yang berdasarkan hukum harus ada independensi kekuasaan kehakiman.
“Independensi hakim ini prasyarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan,” kata mantan Kepala Badan Pengawasan MA itu dalam Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan dengan mengangkat subtema “Menjaga Marwah dan Integritas Hakim”, Selasa (31/5/2022).
Dwiarso menerangkan kebebasan hakim cerminan dari independensi kekuasaan kehakiman. Tapi bukan berarti kebebasan itu tanpa batas karena ada akuntabilitas, profesional, dan imparsialitas yang tetap harus dipegang. Misalnya hakim tidak dapat diintervensi dalam memutus perkara, tapi putusannya itu harus akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan) dan bisa diukur (profesionalitasnya).
Integritas hakim juga ditunjukan dengan sikap teguh dan tidak luluh dengan godaan. Hakim harus menguasai kode etik profesinya. Misalnya, hakim dilarang berkomunikasi dengan para pihak berperkara, kecuali kedua pihak hadir dalam ruangan terbuka. Penegakan kode etik juga berkaitan dengan profesionalisme dimana hakim harus meningkatkan wawasan dan pengetahuannya. Imparsial dalam menangani perkara secara adil dan tidak memihak.
Dwiarso juga mengingatkan ada Bangalore Principles yang digunakan oleh aparat peradilan di berbagai negara. Prinsip yang diatur dalam ketentuan tersebut meliputi kemandirian; tidak memihak; integritas; kesopanan; persamaan; kecakapan; dan ketekunan. MA mengadopsi dan melengkapi Bangalore Principles dalam membuat peraturan terkait kode etik hakim.
Misalnya, MA dan KY telah membentuk peraturan bersama yang dimuat dalam Keputusan Bersama MA dan KY No.047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kemudian terbit Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY No.02/PB/MA/IX/2012-02/PB/KY/IX/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim diimplementasikan dalam 10 aturan perilaku. Pertama, berperilaku adil. Kedua, berperilaku jujur. Ketiga, berperilaku arif dan bijaksana. Keempat, bersikap mandiri. Kelima, berintegritas tinggi. Keenam, bertanggung jawab. Ketujuh, menjunjung tinggi harga diri. Delapan, berdisiplin tinggi. Sembilan, berperilaku rendah hati. Sepuluh, bersikap profesional.
Dalam penerapan kode etik tersebut, Dwiarso melanjutkan hakim harus melaksanakan peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, ancaman, atau bujukan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun. Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) hakim dan badan peradilan.
“Hakim wajib berperilaku mandiri (independent, red) guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan,” ujarnya mengingatkan.
Menurut Dwiarso, kode etik dan pedoman perilaku hakim penting dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran, dan martabat hakim. Hal tersebut harus dijaga dengan baik karena hakim adalah jabatan yang luhur/mulia (officium nobile).
Standar kode etik dan panduan perilaku hakim yang tergolong tinggi membuat sebagian kalangan menilai kode etik hakim seolah untuk malaikat. Menurut Dwiarso, hal itu wajar karena memang dibutuhkan standar yang tinggi sebagai pagar untuk jabatan atau posisi yang mulia.
“Bahkan ada yang menyebut jika sudah melaksanakan ini (kode etik dan panduan perilaku hakim, red) berarti sudah setengah dewa. Hakim memang dituntut begitu,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota KY Binziad Kadafi mengatakan pengadilan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan publik. Pengadilan mengandalkan kepercayaan publik agar setiap putusan hakim bisa dihormati dan dilaksanakan. Oleh karena itu, setiap Ketua MA yang terpilih sejak reformasi sampai sekarang sering menekankan pentingnya kepercayaan publik kepada lembaga peradilan.
“Jelas dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim yang disahkan MA dan KY tahun 2009 jelas, salah satu tujuan utamanya untuk meningkatkan kepercayaan publik dan pencari keadilan,” ujar Binziad.
Memperkuat integritas peradilan
Koordinator Nasional Anti Korupsi UNODC, Putri Wijayanti, mengatakan Pasal 11 konvensi anti korupsi PBB (UNCAC) menekankan pentingnya integritas peradilan. Hal ini salah satu tantangan besar bagi supremasi hukum yang dihadapi oleh berbagai negara. Ketentuan tersebut mengingatkan independensi peradilan dan peran peting untuk memerangi korupsi.
“Semua negara telah mengambil langkah untuk memperkuat integritas untuk mencegah peluang korupsi (suap, red) di peradilan. Ini tidak hanya untuk hakim, tapi semua aparat peradilan (sebagai satu sistem peradilan terpadu, red),” paparnya.
Direktur Eksekutif LeIP, Liza Farihah, mengatakan korupsi di pengadilan masih menjadi persoalan yang perlu terus dibenahi. Sudah banyak kasus dimana aparat peradilan terjerat operasi tangkap tangan atau perkara tindak pidana korupsi. Dia menyebut 2 jenis korupsi peradilan yakni sistemik dan non sistemik.
Korupsi peradilan non sistemik sifatnya lebih sederhana, misalnya ada aparat pengadilan minta imbalan kepada pihak berperkara untuk informasi atau dokumen tertentu. Korupsi peradilan sistemik lebih rumit karena melibatkan beberapa pihak dan pengambil kebijakan. Korupsi sistemik tidak terlihat gamblang, tapi memanfaatkan struktur atau sistem dalam pengadilan.
“Sistem birokrasi yang tidak transparan dan akuntabel membuka celah modus tindak pidana korupsi,” imbuhnya.