Cegah Kekerasan Seksual berbasis Online, Para Perempuan Kembali Diingatkan Hal Ini

Avatar photo

- Jurnalis

Senin, 23 Agustus 2021 - 08:48 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

doc: asumso.co

doc: asumso.co

Selain menawarkan kemudahan dalam beraktivitas, kemajuan teknologi khususnya kehadiran media sosial memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan hidup manusia. Contohnya saja kekerasan berbasis gender. Saat ini kasus perundungan, kekerasan hingga pelecehan seksual kepada kaum wanita banyak ditemukan di berbagai platform medsos. Ironisnya lagi, perilaku ini dapat disaksikan oleh seluruh kalangan usia, dari anak-anak, remaja hingga dewasa. 

Angka kekerasan online kepada kaum wanita lewat jejaring sosial ini pun meningkat secara signifikan sejak pandemi Covid-19. Terbatasnya ruang gerak dan hanya berdiam diri di rumah membuat orang-orang lebih memilih untuk beselancar di dunia maya. Mitra Koneksi, Chicha Zaitun Elisabeth mengatakan bahwa mengutip data Komnas Perempuan yang dilansir pada Maret 2021, kasus kekerasan online terhadap wanita meningkat dari angka 281 kasus di tahun 2019 menjadi 940 kasus di tahun 2020.

Sama halnya dengan kekerasan yang dilakukan secara langsung atau fisik, kekerasan berbasis gender online difasilitasi teknologi, tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual.

“Kekerasan gender atau seksual secara online pada dasarnya sama dengan kekerasan fisik. Bedanya kekerasan ini difaslitasi teknologi. Karena adanya pandemi orang lebih banyak menggunakan fasilitas teknologi seihngga banyak terjadi kekerasan berbasis gende secara online,” kata Chicha dalam Webinar KONEKSI “Take Action against Stigma and Gender Bias”, dikutip dari hukumonline.com pada Kamis (19/8).

Adapun bentuk-bentuk kekerasan gender secara online yang kerap terjadi adalah pelanggaran privasi, perusakan reputasi atau kredibilitas, pelecehan, ancaman dan kekerasan langsung, dan serangan yang ditargetkan di komunitas tertentu. Sementara untuk pihak yang rawan menjadi korban adalah seseorang yang terlibat dalam hubungan intim, profesional seperti aktifis, jurnalis, penulis, peneliti, musisi, aktor, dan profil publik, serta penyintas atau korban kekerasan fisik.

Chicha mengingatkan bahwa kekerasan berbasis gender secara online ini juga membawa dampak yang serius kepada korban. Seperti kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, mobilitas terbatas, dan sensor diri.

Jika seseorang mengalami kekerasan berbasis gender secara online, Chicha mengingatkan korban untuk mendokumentasikan hal yang terjadi sebelum bukti terhapus, mencari bantuan seperti keluarga, atau lembaga bantuan hukum dan pelindungan perempuan, serta melaporkan dan memblokir pelaku.

Baca Juga :  Ketua MA: IKAHI Itu Hanya Satu, Dari Pusat Sampai Daerah

Guna mengantisipasi terjadinya kekerasan berbasis gender secara online, Chicha mengingatkan kaum wanita untuk melakukan antisipasi di media sosial atau platform percakapan. Setidaknya ada delapan tips sebagai bentuk antisipasi terjadinya kekerasan berbasis gender secara online yakni memisahkan akun pribadi dan akun publik, cek dan atur ulang pengaturan privasi, ciptakan password yang kuat dan aktifkan verifikasi login, dan jangan sembarangan mempecayakan akun kepada aplikasi pihak ketiga.

Kemudian, hindari berbagi waktu pada waktu yang nyata (real time location sharing), Behati-hati dengan URL yang dipendekkan, lakukan data detox, dan jaga kerahasiaan pin atau password pada ponsel atau pada laptop pribadi.

Sementara itu, Jurnalis Independen Liston P. Siregar menyatakan bahwa saat ini manusia hidup dalam era information overload. Dengan satu aplikasi berupa google, orang-orang dapat menemukan apapun informasi yang dibutuhkan. Namun informasi ini biasanya didasarkan pada algoritma, di mana orang-orang akan disajikan informasi yang sesuai dengan kata kunci saat pencarian.

Hal ini dinilai menjadi faktor penyebab stigma kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Belum lagi beragam pemberitaan yang cenderung merendahkan kaum wanita banyak ditemukan di jejaring media sosial.

Liston lalu menyampaikan kritik terhadap metode pemberitaan media di Indonesia. Menurutnya sebagian besar kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap wanita disajikan oleh media dengan memposisikan korban sebagai pihak yang tersudutkan. Artikel ditulis dengan mengeksploitasi kaum wanita sebagai korban, bukan sebaliknya.

Selain itu pada pemberitaan tentang gender di Indonesia, banyak judul yang mengandung klik bait demi mendapatkan banyak views, artikel yang mengeksploitasi wanita, dan tidak fokus pada fakta yang sebenarnya terjadi.

Selayaknya sebuah artikel harus mengandung fakta, bukanlah asumsi. Liston mengingatkan bahwa sebuah artikel yang baik harus terjamin akuntabilitas, akurasi, konteks, informasi bantuan dan kemanusiaan. Jangan menulis artikel dengan menjadikan fisik sebagi obyek, tulislah tanpa prasangka dan kesetaraan.

“Pertama akuntabilitas, pelakunya itu subjek berita, bukan malah korbannya. Lalu kedua akurasi berita, apa faktanya. Jangan gunakan eufimisme, tulis faktanya bukan bedasarkan selera, bukan cara bepikir di kepala kita. Media harus menggunakan kalimat aktif tehadap kekerasan perempuan, konteksnya dijelaskan seperti apa, misalnya suami sering melakukan kejahatan, dijelaskan di berita. Supaya meningkatkan kesadaran semua orang. Berikan informasi bantuan, karena ketidakbedayaan perempuan mereka tidak tahu harus mengadu kemana. Kita kasih informasi bantuan di dalam berita, nama lembaga, no hape,” kata Liston pada acara yang sama.

Baca Juga :  Kembali Serang Gaza Palestina, Israel Teroris Paling Ganas di Abad 21

Baginya, memberitakan sebuah masalah tidak harus memberikan informasi yang buruk kepada pembaca tetapi juga memberikan jalan dan jembatan kepada publik atas persoalan yang dihadapi oleh kaum wanita lewat artikel-artikel terkait kesetaraan.

Terkait proses pemberitaan ini, lanjut Liston, jurnalis dibekali dengan kode etik jurnalistik dimana selalu mengedepankan informasi berimbang dan menguji informasi yang ada. Jika saja media mampu menjalankan kode etik ini, maka pemberitaan yang tak beirmbang terkait kekerasan terhadap wanita akan selesai dengan sendirinya.

“Ada kode etik jurnalistik dimana selalu menguji informasi, berimbang dan jika kita jalankan ini akan beres, tapi itu tidak dilakukan. Indonesia punya Dewan Pers tetapi hanya bisa menerima pengaduan, dan juga penertiban media online. Tapi sayangnya, dari berita-berita itu tadi, beberapa diberitakan oleh media profsional,” jelasnya.

Liston juga menekankan ada persoalan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dinilai tidak relevan dengan situasi saat ini. Liston sepakat jika UU Pers hars melindungi kerja jurnalistik, namun dia mengingatkan bahwa pers memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Sehingga perlu kehati-hatian saat meliput dan menulis pemberitaan.

Saat ini banyak proses pemberitaan yang melanggar kode etik jurnalistik. UU Pers sebaiknya tak hanya mengatur dan melindungi kerja pers, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap subjek berita dan pembaca. “Pembaca berita, subjek berita juga harus dilindungi. Di UU Pers, dari 21 pasal hanya 1 pasal dan 3 ayat yang memberikan perlindungan kepada subjek berita. Kita bukan hanya pebaca yang menunggu umpan, kita adalah pembaca yang cerdas. Di luar negeri kasus kekerasan pelakunya yang di ekspose, bukan korban,” pungkasnya.

Berita Terkait

Catatan Redaksi: Potret Buram Penegakan Hukum Indonesia Berdasarkan Kasus Viral
Bamsoet: Jadikan Momentum Idul Fitri Mempererat Persaudaraan dalam Keberagaman
Inilah Salah Satu Sifat yang Dibenci Allah SWT
RUU KUHAP Berpotensi Membelenggu Kebebasan Advokat
Bamsoet Dorong Peningkatan Penggunaan Teknologi Digital dalam Praktik Notaris
Puan Minta Eks Kapolres Ngada Dipecat dari Polri dan Disanksi Seberat-Beratnya!
Komisi XIII DPR fraksi PKB Desak Peningkatan Layanan Imigrasi di Daerah 3T
Anggota Komisi III DPR RI Bamsoet Kembali Dorong Pemberantasan Mafia Tanah
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 4 April 2025 - 20:56 WIB

Catatan Redaksi: Potret Buram Penegakan Hukum Indonesia Berdasarkan Kasus Viral

Selasa, 1 April 2025 - 10:11 WIB

Bamsoet: Jadikan Momentum Idul Fitri Mempererat Persaudaraan dalam Keberagaman

Senin, 24 Maret 2025 - 18:36 WIB

Inilah Salah Satu Sifat yang Dibenci Allah SWT

Minggu, 23 Maret 2025 - 13:34 WIB

RUU KUHAP Berpotensi Membelenggu Kebebasan Advokat

Rabu, 19 Maret 2025 - 03:49 WIB

Bamsoet Dorong Peningkatan Penggunaan Teknologi Digital dalam Praktik Notaris

Berita Terbaru