PIJAR-JAKARTA – Dosen Hukum Pidana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STHI) Adhyaksa, Adery Ardhan Saputro berpandangan ketiadaan harmonisasi delik tindak pidana yang diatur dalam draf RKUHP dengan UU sektoral bakal berdampak kekeliruan dalam menerapkan delik perbuatan sejenis dalam proses penegakan hukum. Hal ini bakal berpotensi adanya perbedaan perlakuan dalam proses hukum acara pidana, seperti penahanan.
Adery mencontohkan pasca disahkannya RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi UU No.12 Tahun 2022, perlu harmonisasi dengan RKUHP. Khususnya dalam Pasal 6 UU 12/2022 memuat frasa “perbuatan seksual secara fisik”. Persoalannya, RKUHP tidak mengenal “perbuatan seksual secara fisik’, tapi “pencabulan” dan “pemerkosaan”.
Dia menilai perlu melihat secara mendalam soal bagaimana menempatkan “perbuatan seksual secara fisik”dalam gradasi antara pencabulan dan pemerkosaan. Bagi Adery, RKUHP perlu memberikan penjelasan makna perbuatan seksual secara fisik. Kata lain, materi muatan delik yang diatur dalam RKUHP perlu diselaraskan dengan UU sektoral.
“Kalau tidak diselaraskan antara UU sektoral dengan RKUHP bakal menjadi celah bagi aparat penegak hukum menerapkan pasal secara keliru di lapangan,” ujar Adery dalam webinar bertajuk “Konsultasi Nasional Pembaran KUHP 2022”, Kamis (23/6/2022).
Dia membandingkan pengaturan pornografi. Dalam Pasal 412 huruf a RKUHP menyebutkan “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang: a. melanggar kesusilaan di muka umum; atau b. melanggar kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut”.
Kemudian Pasal 420 ayat (1) huruf a RKUHP menyebutkan, “Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III”.
Sementara itu, pengaturan delik dalam Pasal 10 UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebutkan, “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”. Begitu pula dalam Pasal 36 UU 44/2008 menyebutkan, “Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
Adanya dua delik pornografi dengan sanksi hukumannya berbeda potensi mengakibatkan adanya perbedaan penerapannya oleh aparat penegak hukum. Begitu pula implikasinya terhadap perlakuan proses beracara antar aparat penegak hukum. Karena itu, sangat penting mengharmonisasi pengaturan delik antara yang diatur dalam RKUHP dengan UU sektoral.
Pria yang juga menjabat Deputi Direktur Bidang Program pada Indonesia Judicial Research Society (IJRS) itu menyebutkan ada banyak delik dalam RKUHP yang perlu diharmonisasi dengan UU sektoral. Seperti delik penghinaan. Begitu pula delik penyebaran konten bermuatan pornografi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008.
“Termasuk delik suap pasif yang diatur dalam RKUHP dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” bebernya.
Sistematisasi seluruh delik
Sementara Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa menilai dalam perumusan RKUHP tak sekedar mengharmonisasi, tapi mensistemisasi keseluruhan delik yang ada di RKUHP dengan UU di luar KUHP (UU sektoral). Salah satu misi RKUHP mengadaptasi dan mengharmonisasi semua peraturan hukum pidana di Indonesia. Hal tersebut berkelindan dengan makna sistem kodifikasi yang tak sekedar membukukan ketentuan pidana dalam satu kitab, namun termasuk mensistematisasi mulai pembagian bab, kualifikasi deliknya, dan sistem pemidanaan secara keseluruhan.
Dia menunjuk adanya bab tindak pidana khusus, seperti penerapan delik tindak pidana korupsi. Menurutnya, dalam Pasal 624 RKUHP menyebutkan, “Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam Bab tentang Tindak pidana khusus dalam UU ini dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang masing-masing”.
Sementara dalam Pasal 3 ayat (1) RKUHP menyebutkan “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku atau pembantu”.
Terhadap penanganan perkara korupsi ini, kata dia, bakal terdapat pertentangan antara asas lex specialis dengan lex priori (aturannya bersifat pilihan). Tapi lain ceritanya dengan rumusan norma dalam Pasal 125 ayat (2) RKUHP yang menyebutkan, “Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali Undang-Undang menentukan lain”.
“Kalau saya (jadi) pengacara saya pilih RKUHP karena sanksinya lebih ringan. Jadi kalau pilih mana, transaksional lagi ujungnya, karena mana yang dipilih. Normanya berbeda mesti unsur deliknya sama. Jadi ini ada masalah, sehingga harus ada harmonisasi delik-delik itu,” katanya.