PIJAR | JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengaku kecewa atas putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Alexander bahkan menganggap putusan ini tidak mencerminkan MA sebagai sebuah lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
“Ini memang beberapa putusan MA terkait dengan perkara-perkara yang ditangani KPK ini dari sisi kami memang sangat mengecewakan tentu saja terhadap pertimbangan-pertimbangan yang dibuat majelis hakim MA yang rasa-rasanya kok tidak mencerminkan keagungan sebuah mahkamah. Menurut kami seperti itu,” kata Alex di Gedung KPK, Jakarta, Jumat.
MA memutuskan mengurangi hukuman pidana penjara Edhy Prabowo menjadi 5 tahun penjara dari yang sebelumnya 9 tahun penjara. Terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo tersebut, yakni sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat, khususnya nelayan.
Menurut hakim, Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020. Permen tersebut mensyaratkan pengekspor untuk mendapat benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL.
Menurutnya, kebijakan yang menjadi pertimbangan majelis meringankan putusan bukan merupakan kebijakan Eddy, tetapi oleh menteri sebelumnya. “Ini kan sebetulnya sebuah kebijakan, ya, kebijakan menteri yang lalu seperti itu, kebijakan menteri yang sekarang seperti itu. MA ini seolah-olah hakimnya men-judge menghukum kebijakan yang lalu itu tidak benar, ‘kan seperti itu. Makanya, dikoreksi dan dianggap itu sebagai suatu hal yang baik,” ujar Alex.
Kendati demikian, dia tetap menghormati putusan kasasi Edhy Prabowo tersebut. “Seburuk apa pun putusan hakim itu tetap harus kami akui dan harus melaksanakan, aturannya seperti itu. Tidak ada upaya hukum yang lain. Akan tetapi, dengan Undang-Undang Kejaksaan yang baru, saya kira apakah nanti KPK akan melakukan peninjauan kembali (PK) kami lihat karena di Undang-Undang Kejaksaan yang baru ‘kan dimungkinkan,” kata Alex.
Selain itu, kata dia, KPK juga akan mempelajari terlebih dahulu setelah menerima putusan lengkap dari MA. “Tentu kami akan melihat setelah menerima putusan lengkapnya seperti apa karena di dalam berita kami tidak melihat apakah ganti rugi tersebut juga dikoreksi. Kalau di putusan pertama ‘kan ada kewajiban untuk membayar uang pengganti. Apakah itu juga dihapus? Kami belum tahu,” tuturnya.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh, ia menilai putusan MA mengurangi hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Akhirnya saya mengambil konklusi bahwa ini (putusan MA) menjadi preseden yang buruk apalagi ini di level MA yang produknya dianggap sebagai yurisprudensi,” kata Pangeran Khairul Saleh dalam keterangannya di Jakarta, seperti dilansir Antara.
Dia menjelaskan, ada beberapa pendekatan untuk menjawab apakah putusan MA tersebut menjadi preseden buruk pemberantasan korupsi. Pertama, penjelasan juru bicara MA yang mengatakan bahwa faktor jasa dari mantan Menteri KKP terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan begitu besar.
Pangeran mempertanyakan, apakah di level MA masih bisa menilai secara judex facti padahal selama ini MA adalah menilai secara judex juris. “Karena itu menjadi aneh secara hukum hal tersebut menjadi pertimbangan padahal secara tugas dan fungsi siapapun jadi pejabat tentu amanah yang di emban harus menyejahterakan rakyat,” ujarnya.
Dia menjelaskan, pendekatan kedua yaitu tindak pidana yang dilakukan dalam kondisi pandemi, semua pihak sempat heboh bagaimana hukum mengatur apabila korupsi dilakukan saat negara dalam keadaan darurat tentu hukumannya semakin berat.
Menurut dia, apakah itu menjadi pertimbangan, sehingga Putusan MA tersebut tidak logis. Karena itu Pangeran mengatakan, Komisi III DPR akan mempertanyakan kepada MA terkait putusan tersebut dalam konteks pengawasan kinerja kelembagaan.
Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro mengatakan bahwa Majelis Hakim Kasasi menilai dalam putusan judex facti kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa Edhy Prabowo.
“Ada keadaan yang meringankan terdakwa, namun pengadilan judex facti tidak mempertimbangkan,” kata Andi kepada wartawan dalam konferensi pers yang diselenggarakan di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis.
Majelis Hakim Kasasi menilai bahwa judex facti, atau para hakim di pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama dan para hakim di pengadilan tindak pidana korupsi tingkat banding sebelumnya tidak mempertimbangkan beberapa fakta yang meringankan.
Menurut Majelis Hakim Kasasi, faktor yang meringankan terdakwa adalah kinerja baik Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Sebagai seorang menteri, Majelis Hakim Kasasi menilai Edhy Prabowo telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat, khususnya bagi nelayan.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, kewajiban untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219,00 dan 77.000 dolar AS serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak selesai menjalani hukuman.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada tanggal 15 Juli 2021 menjatuhkan vonis yang sama dengan tuntutan, yaitu 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti dan pencabutan hak dipilih selama 2 tahun.
Namun, pada tanggal 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219,00 dan 77.000 dolar AS serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.
Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, Edhy Prabowo mengajukan kasasi pada tanggal 18 Januari 2022. Dalam perkara ini, Edhy Prabowo terbukti menerima suap senilai 77.000 dolar AS dan Rp24.625.587.250,00 dari pengusaha terkait ekspor BBL.