Materialisme, Karl Marx dan Islam

Oleh : Ustadz Ahmad Umar Hasan, S.Ag

PIJAR | JAKARTA – Karl Marx adalah seorang filosof, sosiologi, ekonomi, politisi dan aktivis. Marx mengklaim pemikirannya sebagai kritikan pada politik ekonomi yang dikenal sebagai filsafat kritis. Pemikiran Marx menjadi rujukan banyak ilmuan dan sangat relevan sebagai salah satu alat analisis. Karya Marx sangat banyak, Karl Heinrich Marx nama asli dari Karl Marx lahir di Trier, Prussia (sekarang Jerman), pada tanggal 5 Mei 1818.

Ibunya berasal dari keluarga Yahudi, dan ayahnya berpendidikan sekuler dan pengacara yang sukses. Namun karna politik tidak menguntungkan lagi bagi pengacara Yahudi maka ayah dan keluarganya berpindah menjadi pemeluk agama Protestan.

Materialisme Historis Marx Materialisme adalah konsep pemikiran yang meyakini materi atau yang terlihat sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi yang tidak terlihat. Sistem berfikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham materialisme Marx.

Michel Curtis mengemukakan dalam Watloly dan menjelaskan bahwa materialisme sejarah Marx adalah materialisme dalam arti filosofis, bukan materialisme praktis yang diartikan materi hanya sebagai kebenaran, dan tidak bermakna. Akan tetapi Materialisme sejarah Marx akan menunjukkan, bahwa di balik materi ada sesuatu yang menggerakkan arah sejarah sehingga materialisme sejarah harus difahami sebagai gerak materi yang menyejarah. Marx memandang bahwa hanya dalam kerja ekonomi itulah, manusia mengubah dunia.

Pandangan Marx yang menjadikan materi sebagai primer di atas, dikenal dengan konsep materialisme historis.
Materialisme historis berisikan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan materi, bukan pada ide karena ide adalah bagian dari materi itu sendiri.

Marx mengikutkan materialisme ke dalam materialisme historis dan materialisme. Materialisme historis adalah pandangan ekonomi terhadap sejarah. Kata historis ditempatkan Marx dengan maksud untuk menjelaskan berbagai tingkat perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang zaman.

Sedangkan materialisme yang dimaksud Marx adalah mengacu pada pengertian benda sebagai kenyataan yang jelas dan terlihat. Marx tetap konsekuen memakai kata historical materialisme untuk menunjukkan sikapnya yang bertentangan dengan filsafat idealism.

Filsafat materialisme berisikan bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusia, demikian juga diakui adanya kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide. Sedangkan filsafat idealism menegaskan bahwa segenap kesadaran didasarkan pada ide-ide dan mengingkari adanya realitas di belakang ide-ide manusia.

Menurut Marx, perkembangan sejarah manusia tunduk pada watak materialistik. Jika teori ini diterapkan pada masyarakat, maka dalam pemikiran Marx disebut dengan materialisme historis. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa yang menentukan derajat masyarakat dan perkembangan dalam sejarah.

Derajat-derajat itu bukan suatu kebetulan, melainkan merupakan upaya manusia untuk memperbaiki kehidupan dengan mengadakan pembagian kerja. Prinsip dasar teori ini “bukan kesadaran manusia untuk menentukan keadaan sosial, melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan keadaan manusia.”

Lebih lanjut Marx berkeyakinan bahwa untuk memahami sejarah dan arah perubahan, tidak perlu memerhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia, tetapi bagaimana dia bekerja dan berproduksi. Dengan melihat cara manusia itu bekerja dan berproduksi, dapat menentukan cara manusia itu berpikir.

Islam terhadap pemikiran Karl Marx

Setelah membaca pandangan Marx, tentunya sangat jauh dengan konsep keimanan yang diajarkan Islam, islam tidak mengajarkan apa yang telah dikatakan oleh Karl Marx akan tetapi islam mengajarakan untuk mengedepan kan dan mengutamakan keimanan ( keyakinan) yang tentunya tidak dapat selalu berpacu dengan apa yang ada di depan kita, islam tidak mengajarkan kepada ummatnya untuk termotivasi melakukan sesuatu semata-mata mendapatkan keuntungan dunia akan tetapi islam juga mengajarkan kepada ummatnya untuk mendapatkan keuntungan dunia akan tetapi islam juga mengajarkan kepada ummatnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan dunia yaitu kenikmatan di akhirat tempat kita kembali kelak.

Namun, bukan berarti hubungan umat Islam dengan Marxisme selalu buruk. Mengingat Dalam sejarah, Marxisme pernah menjadi refrensi negara-negara Islam melihat kembali peritiwa Mesir yaitu mempunyai Nasser yang menjalin hubungan dengan Uni Soviet yang sangat dekat. Sudan dengan partai Komunisnya.

Saddam Husein yang didukung partai sosialnya Baath di Irak dan lainnya. Hubungan baik antara Islam dengan sosialisme ini dilakukan ketika umat Islam ingin melepaskan diri dari belengguan imperialisme yang bergaya Eropa, yang berlandaskan kapitalis.

Islam pada dasarnya adalah agama pembebasan umat manusia, hal ini disebabakan Makkah pada zaman Nabi Muhammmad lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi. Kondisi tersebut menjadikan Makkah sebagai pusat kapitalisme. Watak kapitalisme yang dominan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di semenanjung Arab pada saat itu.

Sehingga lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Makkah. Nabi Muhammmad SAW adalah seorang revolusioner dari segi ucapan maupun perbuatannya. Beliau bekerja demi perubahan yang sangat radikal pada struktur masyarakat sosial pada masanya.

Beliau mengabaikan kemapanan di kotanya, yang telah dikuasai oleh orang-orang kaya dan penguasa Makkah. Rumusan yang didakwahkan, La ilaha illa Allah, dengan sendirinya sangat revolusioner dalam implikasi sosial ekonominya.

Nabi Muhammmad tidak hanya menolak berhala-berhala yang ada disekitar ka’bah, namun juga menolak mengakui otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang ada di masanya. Perlawanan kepada Nabi Muhammmad saw oleh kaum kapitalis Makkah, pada dasarnya disebabkan oleh ketakutan terhadap perubahan yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw.

Oleh karena permasalahan yang terjadi antara kelompok petinggi Makkah dengan Nabi Muhammmad saw bukanlah hanya persoalan keyakinan agama, namun lebih pada kekhawatiran pada konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin nabi yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta, penimbunan dan pemborosan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *