Menilik Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam KUHP Baru

PIJARJAKARTA | Pengaturan tindak pidana korporasi secara gamblang diatur dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbedahalnya dengan Wetboek Van Strafrecht yang belum mengenal dan mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana. Tapi begitu, wetboek van strafrecht mengenal konsep pertanggungjawaban korporasi yang dibebankan kepada pengurus korporasi.

Melalui UU 1/2023 yang notabene menjadi KUHP Nasional mengatur tindak pidana korporasi sebagaimana diatur Pasal 46 ditafsirkan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi, serta bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi.

Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kejaksaan Agung, Raden Narendra Jatna berpandangan, berdasarkan hubungan kerja dalam dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Kemudian, Pasal 47 KUHP Nasional mengatur tindak pidana korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi yang berada di luar struktur organisasi.

“Di KUHP lama tidak kenal korporasi masuk (menjadi subjek), yang ada di UU khusus (lex specialis). Jadi korporasi belum masuk. Di KUHP Baru (UU 1/2023,-red), korporasi merupakan subjek tindak pidana,” ujarnya dalam diskusi dan Rapat Umum Anggota Luar Biasa ICCA 2024, Jum’at (22/3/2024).

Tindak pidana korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi.

Pengaturan tindak pidana korporasi secara gamblang diatur dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbedahalnya dengan Wetboek Van Strafrecht yang belum mengenal dan mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana. Tapi begitu, wetboek van strafrecht mengenal konsep pertanggungjawaban korporasi yang dibebankan kepada pengurus korporasi.

Melalui UU 1/2023 yang notabene menjadi KUHP Nasional mengatur tindak pidana korporasi sebagaimana diatur Pasal 46 ditafsirkan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi, serta bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi.

Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kejaksaan Agung, Raden Narendra Jatna berpandangan, berdasarkan hubungan kerja dalam dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Kemudian, Pasal 47 KUHP Nasional mengatur tindak pidana korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi yang berada di luar struktur organisasi.

“Di KUHP lama tidak kenal korporasi masuk (menjadi subjek), yang ada di UU khusus (lex specialis). Jadi korporasi belum masuk. Di KUHP Baru (UU 1/2023,-red), korporasi merupakan subjek tindak pidana,” ujarnya dalam diskusi dan Rapat Umum Anggota Luar Biasa ICCA 2024, Jum’at (22/3/2024).

Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana diatur dalam Pasal 45 ayat (1). Bagi Narendra, bentuk korporasi meliputi badan hukum yang bisa berupa perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau yang disamakan. Selain itu, perkumpulan yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, atau badan lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta itu menerangkan, terdapat beberapa aspek yang patut diperhatikan saat melakukan penilaian kesalahan korporasi jika mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Seperti, diperoleh atau tidaknya keuntungan atau manfaat dari tindak pidana yang dilakukan korporasi atau tindak pidana tersebut dilakukan guna kepentingan korporasi.

“Apakah korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana? Atau korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana,” urainya.

Dosen hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) itu mengatakan, model dari pertanggungjawaban pidana korporasi terdiri atas 3 hal. Pertama,  pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab atas tindak pidana. Kedua, korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab atas tindak pidana korporasi.

Tuntutan pidana yang dilayangkan atas tindak pidana korporasi juga dapatdiajukan kepada korporasi, pengurus korporasi, maupun korporasi dan pengurus korporasi. Jika UU tidak mengatur subjek hukum korporasi, tuntutan pidana akan diajukan terhadap pengurus korporasi. Terhadap korporasi yang bukan berbadan hukum, pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus dan bisa dikenakan pidana tambahan dan/atau tindakan tata tertib terhadap korporasi. 

“Lalu mitigasinya gimana? Paling gampang ikuti saja asas good corporate governance (GCG). Buktinya, mau tidak mau sistem manajemen sekarang harus dibuat SOP. Banyak perusahaan swasta tidak (membuat), tapi kalau BUMN (harus ada) mana SOP-nya?. Penyidik dan penuntut umum ngeceknya itu paling awal, walau pembuktiannya banyak ya,” ujar mantan Kajati Bali itu.

Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Yunus Husein berpandangan, ada berbagai dampak dari tindak pidana bagi korporasi. Seperti kerugian finansial, reputasi yang buruk, terlibat proses hukum, menyebabkan kejahatan lain berkembang, kekurangan investasi, pembatasan operasi perusahaan, hingga merusak pasar dan persaingan usaha yang sehat.

Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu menerangkan, soal alasan pembenar dan pemaaf pertanggungjawaban pidana korporasi dapat ditelaah dalam Pasal 50 KUHP Nasional. Yakni, alasan pembenar dan pemaaf dapat diajukan pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi. Bahkan dapat juga diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan tindak pidana yang didakwakan kepada korporasi.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *