PIJAR-JAKARTA – Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melawan KPU RI mendapat respon banyak kalangan mulai dari masyarakat sipil, lembaga dan pejabat negara. Perkara itu diputus majelis hakim yang terdiri dari T Oyong sebagai hakim ketua, H Bakri dan Dominggus Silaban sebagai hakim anggota. Putusan bernomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu dibacakan Kamis (02/03/2023) kemarin.
Sebagian amar putusan menyatakan KPU RI sebagai tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Menghukum KPU RI untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi yang terdiri antara lain YLBHI, Perludem, HRWG, dan AJI Indonesia menyatakan putusan PN Jakpus itu keliru, tidak berdasarkan hukum, dan berbahaya bagi demokrasi serta membangkang pada konstitusi. Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana, menilai PN Jakpus tidak punya kompetensi memeriksa perkara yang berkaitan dengan verifikasi partai politik atau sengketa proses pemilu.
Pasal 470 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur sengketa proses pemilu antara lain antara KPU dengan partai politik calon peserta pemilu yang tidak lolos verifikasi. Mengacu ketentuan tersebut, Arif menyebut mekanisme penyelesaian sengketa melalui Bawaslu dan PTUN, bukan Pengadilan Negeri. “Disini majelis hakim keliru dalam menerapkan hukum, majelis hakim sewenang-wenang dalam tugasnya mengadili perkara,” kata Arif dalam konferensi pers, Jum’at (3/3/2023) kemarin.
Arif mengatakan putusan PN Jakpus ini tidak biasa, tercatat isu penundaan pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan Presiden sudah disuarakan berbagai elit politik berulang kali. Oleh karena itu penting bagi Bawas MA dan KY menelusuri kenapa majelis hakim bisa memberikan putusan seperti itu. Apakah ada faktor eksternal yang mempengaruhi majelis memutus perkara, misalnya mafia peradilan. Bisa karena faktor internal seperti kapasitas hakim atau malah karena kedua faktor tersebut.
Koalisi mengusulkan sedikitnya 3 hal. Pertama, KPU RI harus melakukan perlawanan dengan melakukan upaya hukum banding secara serius karena putusan ini berbahaya bagi demokrasi. Kedua, mendesak MA dan KY memeriksa hakim yang menangani perkara ini terkait dugaan pelanggaran etik dan profesionalitas. Ketiga, MA, khususnya Pengadilan Tinggi yang nanti memeriksa perkara banding harus mengoreksi putusan tersebut.
Dalam kesempatan yang sama peneliti Perludem, Usep Hasan Sadikin, mengatakan UU Pemilu sudah mengatur lengkap penanganan sengketa verifikasi partai politik calon peserta pemilu. Partai politik yang tidak ditetapkan sebagai peserta pemilu bisa mengajukan penyelesaian sengketa ke Bawaslu dan PTUN. Tercatat Partai Prima sudah melakukan berbagai langkah hukum termasuk Pengadilan Negeri yang kemudian putusannya menuai kritik publik.
“Untuk kepastian hukum, seharusnya hakim mengerti batas-batas kewenangannya. Putusan ini menghukum KPU menunda pemilu, ini di luar kewenangan hakim Pengadilan Negeri,” tegas Usep.
Usep berpendapat persoalan ini menjadi momentum untuk membenahi syarat kepesertaan calon partai politik peserta pemilu yang selama ini dinilai sangat memberatkan. Persoalan ini terus berulang jelang persiapan penyelenggaraan pemilu. Ketidakadilan dalam proses verifikasi dirasakan tak hanya oleh Partai Prima, tapi juga partai politik lainnya terutama yang baru terbentuk.
Sebelumnya, Komisi Yudisial menyatakan apabila ada dugaan pelanggaran perilaku yang kuat, maka KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim atau majelis hakim yang bersangkutan. Demikian kata Juru Bicara KY Miko Ginting dalam pernyataan resminya, Jum’at (3/3/2023).
Putusan kontroversi ini menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat. Menurut Miko, sejatinya dalam memutuskan sebuah putusan, majelis hakim haruslah berpatokan pada UUD 1945 dan pertimbangan-pertimbangan lain seperti nilai-nilai demokrasi. Hal ini dikarenakan putusan pengadilan tidak bekerja di ruang hampa, ada partisipasi masyarakat yang hidup secara sosiologis dan nuansa yuridis.
Untuk itu, KY akan melakukan pendalaman terhadap putusan hakim tersebut terutama untuk melihat apakah terdapat pelanggaran perilaku dan etik yang dilakukan majelis hakim. Adapun salah satu pendalaman tersebut adalah dengan memanggil majelis hakim bersangkutan untuk dimintakan klarifikasi.
Namun demikian, Miko mengingatkan KY tidak dalam posisi untuk menilai benar atau salahnya suatu putusan. Forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan tersebut adalah dengan upaya hukum. “Domain KY berfokus pada aspek dugaan pelanggaran kode etik dan pedomen perilaku hakim. KY juga akan berkomunikasi dengan MA terkait putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait dengan hal ini,” tegas Miko.