Menelusuri Jejak Perlawanan Kriminalisasi Pengawas Boedel Pailit

bookkeeping accounting concept. calculator on financial statement and balance sheet annual.

PIJAR-JAKARTA – Jandri Onasis Siadari mungkin tak pernah mengira bahwa dirinya akan diseret ke kursi pesakitan Pengadilan Negeri Surabaya, pada sembilan tahun silam. Pil pahit ini harus diterimanya saat tengah bertugas menjadi pengurus dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Surabaya Agung Industri Pulp & Kertas.

Meski sudah lama berlalu, pengalaman getir ini tak lantas tersilap dari ingatannya. Jandri mengisahkan, tiga bulan mendekam di dalam rumah tahanan dan menyandang status sebagai terdakwa sejak akhir April hingga menghirup udara bebas pada akhir Juli di tahun 2014, memang tidak serta merta berdampak pada dirinya dalam hal fisik dan psikis. Namun lebih dari itu, citra diri dan reputasi yang sudah lama dia bangun seketika runtuh.

“Tapi sebenarnya yang lebih ngena itu, normalnya orang merasa dipersalahkan walaupun tidak salah apalagi ditahan tiga bulan penjara, itu malu sebenarnya. Saat itu saya rasanya tidak ada kemampuan untuk mempresentasikan diri dan untuk memasarkan kantor saya,” ucap Jandri saat mengenang peristiwa di masa lampau.

Saat kisah ini diriwayatkan kembali pada awal Februari lalu kepada Hukumonline, Jandri mengaku sejak periode 2015 hingga 2019, hidupnya ‘luntang-lantung’ tanpa tujuan. Disebut tidak bekerja, dia masih melakukan berbagai aktivitas di kantor hukum miliknya meskipun tidak signifikan. Jika dikatakan bekerja, Jandri lebih banyak menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan dan berada di rumah sepanjang hari.

Mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan situasinya kala itu adalah hilangnya motivasi diri. Terutama sepanjang tahun 2015, pria kelahiran Tapanuli Selatan ini ternyata mendapatkan banyak sekali penolakan dari klien. Alasannya hanya satu, karena dirinya pernah menjadi terdakwa dan mendekam di rutan tiga bulan lamanya.

Belum lagi catatan digital terus membayangi kariernya. Pemberitaan yang massif di media massa pada medio tahun 2014 itu turut mempengaruhi pekerjaan Jandri. Atribut sebagai terdakwa yang sudah tersisip pada image-nya sebagai kurator/pengurus mempunyai andil besar hilangnya kepercayaan klien terhadap integritas yang selama ini sudah dia bangun bertahun-tahun.

“Apalagi buka Google, muncul berita tentang saya,” ujarnya seraya menegaskan putusan bebas murni yang dibacakan PN Surabaya pada 23 Oktober 2014, tak lantas memperbaiki citra dirinya yang terlanjur rusak di mata klien dan publik.

Alhasil, sejak tersandung kasus pidana itu, hingga saat ini Jandri mengaku dirinya tidak pernah mendapatkan klien baru. Memang ada beberapa klien existing yang masih tetap menggunakan jasa hukumnya, namun tak sedikit pula klien yang memilih ‘angkat kaki’. Kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab kepada keluarga membuat Jandri harus segera bangun dari periode ‘hiatus’. Beruntung dia memiliki lingkungan pertemanan yang masih mendukung kariernya.

“Saya benar-benar mengandalkan pergaulan karena dari situ saya dapat klien,” tutur Jandri.

Pekerjaan yang ditawarkan pun tidak selalu menjadi pengurus/kurator. Sesekali dia mengambil pekerjaan sebagai penasihat hukum mewakili kreditur atau debitur dan beberapa perkara perdata, namun menolak menangani perkara pidana dengan alasan trauma.

“Kalau pidana mungkin ada aspek trauma tadi, jadi tidak mudah menerima,” ujarnya sambil tersenyum tipis.

Upaya kriminalisasi ini rupanya tak hanya dirasakan oleh Jandri. Pada rentang waktu yang sama, seorang kurator bernama Ali Sumali Nugroho ‘ketar-ketir’ saat menghadapi empat laporan pidana sekaligus pasca menangani PKPU PT Kymco Lippo Motor Indonesia.

Saat menceritakan kembali pengalaman mendebarkan dalam perjalanan kariernya itu, Ali mengungkap jika dirinya memahami risiko pekerjaan yang diembannya sebagai seorang pengawas boedel pailit. Namun dia tidak menyangka akan mendapatkan banyak ‘serangan’. Empat laporan pidana itu memberikan shock therapy, terutama secara psikis.

“Secara manusiawi dampak psikis ada dan terasa walaupun dari laporan-laporan polisi itu tidak satupun ada penahanan,” kisahnya. Apalagi ketika laporan naik ke tahap penyidikan dan terjadinya perubahan status sebagai tersangka, tekanan yang dirasa bertambah dua kali lipat.

Jika mengingat peristiwa kriminalisasi kala itu, Ali mengaku masih merasakan kelelahan yang luar biasa. Bayangkan saja, dia harus menjalani dan melawan kriminalisasi selama lima tahun dalam periode 2010 hingga 2014. Tidak saja menyita waktu dan tenaga, namun juga menyita pikiran dan juga dana yang tidak sedikit. Kelelahan yang dirasakannya secara tidak langsung turut mengubah atau mengesampingkan potensi-potensi pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan.

Namun di balik gempuran laporan pidana yang diterimanya, takdir masih berbaik hati atas karier Ali. Nyatanya laporan-laporan polisi itu tidak memberikan dampak berarti terhadap profesinya sebagai kurator/pengurus ataupun sebagai lawyer. Hingga saat ini dirinya masih berpraktik dalam perkara-perkara PKPU atau kepailitan walaupun tidak menjabat sebagai kurator/pengurus.

Percaya Diri, Berjuang, dan Bangkit

Tuduhan serius yakni adanya pelanggaran tindak pidana dalam menjalankan tugas sebagai kurator/pengurus tidak membuat Jandri dan Ali kehilangan rasa percaya diri. Saat keduanya harus mondar-mandir memenuhi panggilan pihak kepolisian, Jandri dan Ali yakin seribu persen sudah menjalankan tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan.

“Saya sedang dikriminalisasi. Karena saya yakin sudah melaksanakan tugas sebagai kurator dengan mengikuti prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku,” ungkap Ali.

Bahkan Jandri sudah merasakan atmosfer upaya kriminalisasi saat proses PKPU masih di pertengahan jalan, jauh hari sebelum perkara tuntas. Sadar akan konsekuensi yang menghadang di depan, Jandri sudah bersiap. Hari demi hari, panggilan demi panggilan pihak kepolisian dia penuhi dengan modal percaya diri yang tinggi. 

“Saya sangat pede. Salah saya apa? Saya bekerja sangat hati-hati,” jelas Jandri. Kendati pada akhirnya, dalam waktu relatif singkat, status tersangka resmi disandangnya dan berkas pun dilimpahkan ke pengadilan.

Sebagai korban kriminalisasi, Jandri dan Ali berjuang keras untuk lepas dari semua sangkaan tidak benar yang ditujukan kepada mereka. Perjuangan itu mereka upayakan dalam proses persidangan dengan menghadirkan bukti-bukti dan keterangan ahli. Langkah ini membuahkan hasil. Tentu saja tak luput dari campur tangan dan bantuan rekan-rekan advokat dalam persidangan, yang sukses mendudukkan pemahaman bahwa perkara kepailitan ada di ranah perdata bukan pidana.

Bagi Ali, seharusnya kriminalisasi itu tidak terjadi andai semua pihak memahami esensi dari UU Kepailitan. Bukan berarti kurator resisten terhadap laporan pidana, tidak! Namun jika UU Kepailitan sudah dipahami secara menyeluruh oleh pihak terkait termasuk  penegak hukum, maka kesalahpahaman yang terjadi selama proses PKPU tidak selayaknya berlabuh ke ranah pidana. Hal ini pula yang dialami Ali saat dirinya berstatus tersangka. 

“Ketika kurator/pengurus dalam tugasnya dianggap telah melakukan kesalahan/kekeliruan dalam tugasnya maka tidak bisa secara sembarangan diselesaikan dengan laporan polisi,” ujarnya. 

Selama menjalani proses pemeriksaan, Ali mengontrol dirinya untuk terus berpikiran positif. Dia tak pernah absen dan kooperatif dalam proses pemeriksaan. Menurut Ali, mungkin atas dasar itu pula penyidik tidak menahan dirinya setelah ditetapkan sebagai tersangka hingga PN Bekasi menyatakan dirinya tak bersalah pada Juli 2014.

Lain halnya dengan Jandri. Tak butuh waktu lama bagi Jandri untuk ‘bermalam’ di rutan setelah berstatus sebagai tersangka. Meski bak terkukung di dalam sangkar, Jandri tak sedikitpun merasa kesepian. Nyaris setiap hari dia menerima kunjungan dan asistensi dan orang-orang terdekat, rekan sejawat, dan juga teman-teman se-almamater. Hal ini pula yang membuat dirinya merasa ‘ringan’ saat melewati hari-hari di dalam tahanan. Kini pria murah senyum ini fokus membangkitkan kembali image-nya di mata publik dan klien. Dia tak lagi memikirkan trauma yang justru menjadi ‘penyakit’ dalam kariernya. 

“Yang kecil sekalipun kalau memang orang percaya kita dan ada waktu atau kesempatan untuk menangani, ya harus,” akunya.

Perlindungan Kurator

Saat tersandung kriminalisasi, Jandri dan Ali segera mengambil langkah hukum. Keduanya mungkin bisa dikatakan memilih langkah yang sama yakni membentuk tim hukum sendiri tanpa melibatkan wadah organisasi yang menaungi profesi. Dalam memutuskan langkah ini tentunya bukan tanpa alasan. Bagi Jandri, penetapan dirinya sebagai tersangka berujung dengan penahanan membuat pikirannya seketika blank, tidak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa, termasuk kepada IKAPI selaku organisasi tempatnya bernaung. 

Dalam momen yang mendebarkan tersebut, dirinya sudah tidak bisa berpikir jernih. Tepat tengah malam, bala bantuan tiba-tiba datang. Orang pertama yang menghampiri Jandri ke PN Surabaya kala itu adalah James Purba. Setelah itu Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) mengambil alih perkara yang membelit Jandri. 

“Tiba-tiba Senin pagi muncul Humprey Djemat, makanya di take over AAI Pusat. Ada beberapa teman advokat masuk dalam surat kuasa AAI yang 68 orang. Dan juga Hotman Paris,” kata Jandri saat mengenang masa-masa sulitnya.

Demikian pula dengan Ali yang memilih untuk membentuk tim sendiri dalam menangani kriminalisasi yang dihadapinya. Apalagi dengan keyakinan yang kuat sudah bekerja sesuai dengan aturan perundang-undangan dan prosedur yang berlaku, Ali yakin dia akan segera bebas dari segala tuduhan. Tak hanya sampai di sana, Ali juga menyampaikan harapan dan permohonan perlindungan hukum terutama kepada asosiasi profesi, Kapolri, Ketua MA, DPR dan lembaga-lembaga lain yang terkait. 

“Dengan harapan adanya perhatian dan jika bisa menghentikan adanya suatu bentuk kriminalisasi terhadap kurator.”

Sebenarnya Jandri dan Ali bisa saja meminta bantuan kepada asosiasi profesi untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun keduanya harus melapor kepada asosiasi profesi agar yang bersangkutan bisa mendapatkan advokasi. Dalam bincang santai pada akhir pekan bersama Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Imran Nating, organisasi terbuka dalam menerima laporan dari semua pihak menyoal perilaku kurator/pengurus. Andai kriminalisasi terjadi, tentu organisasi siap mendukung anggota yang membutuhkan advokasi, terutama dalam kasus-kasus kriminalisasi. 

“Kita tegaskan, kita berdiri tegak di belakang rekan anggota sepanjang anggora kita ini bekerja sesuai aturan undang-undang dan bekerja sesuai aturan profesi,” jelasnya. 

Akan tetapi AKPI juga memiliki sikap tegas untuk anggota yang terbukti ‘nakal’ dan melanggar aturan perundang-undangan dalam menjalankan tugasnya. Tak ada advokasi dari tim AKPI, kecuali memberikan rekomendasi penasehat hukum dengan catatan biaya ditanggung sendiri.

Memang UU Kepailitan sudah memberikan perlindungan kepada kurator/pengurus. Namun perlu diingat bahwa tak ada profesi yang kebal hukum. Pasal 72 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU hanya memberikan perlindungan kepada kurator/pengurus yang menjalankan tugas dengan baik dan benar. Bagi Imran, kurator/pengurus tak perlu merasa ‘empot-empotan’ saat mendapatkan panggilan dari pihak kepolisian sepanjang isi Pasal 72 sudah terpenuhi. Setidaknya hal itu dapat dibuktikan dengan minimnya anggota AKPI yang dipecat karena menabrak kode etik dan amanat UU.

“Yang dipecat sepanjang sejarah baru satu orang kalau tidak salah, kalau kena sanksi skorsing sudah banyak,” ucap pria asli Makassar ini. 

Pun demikian sebahagian kurator/pengurus tetap menginginkan penambahan pasal dalam revisi UU Kepailitan agar perlindungan terhadap kurator lebih eksplisit sebagaimana diatur dalam UU Profesi Advokat. Mengingat kurator/pengurus bekerja atas amanat UU dan diangkat oleh pengadilan dan bekerja melaksanakan putusan pengadilan. 

“Sama dengan juru sita sehingga kurator/pengurus harus dilindungi oleh hukum,” ucap Imran.

Sepanjang perjalanan kariernya sebagai kurator/pengurus, Imran sudah banyak melihat dampak yang dirasakan rekan seprofesi saat terbentur kriminalisasi. Ada rasa trauma yang begitu mendalam saat harus memenuhi panggilan kepolisian. Tentunya tidak mudah bangkit dari rasa malu dan percaya diri. Beberapa diantaranya enggan untuk kembali menangani perkara kepailitan dan PKPU.

Mengedepankan Hati Nurani

Menjadi korban kriminalisasi tentu memberikan pelajaran berharga bagi Jandri dan Ali. Dari kasus yang dia alami, Jandri memahami bahwa hati nurani adalah benteng utama yang melindungi diri dari perbuatan yang tidak benar. Baginya tak ada yang salah dalam UU Kepailitan. Seberapa banyak pun pasal yang disisipkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada kurator/pengurus, akan sia-sia jika dirinya tidak bekerja secara benar. 

“Jiwa kita sebenarnya juga sudah tahu mana yang salah mana yang benar. Intinya anda harus kerja benar, kerja benar saja bisa dipersalahkan apalagi kerja tidak benar,” pesannya. Namun bukan berarti menguatkan perlindungan hukum menjadi tidak penting. “Mau tambah pasal mungkin iya, tapi nomor sekian.”

Ali pun menyadari bahwasanya bayang-bayang kriminalisasi akan terus ada selama dia menjalani profesi sebagai kurator/pengurus. Sehingga semua kembali ke masing-masing individu, membuktikan diri mampu dan bekerja maksimal dalam menjalankan tugas sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam UU Kepailitan. Konklusinya menjadi sederhana, bekerja sesuai aturan main.

Menjadi kurator/pengurus juga harus mampu mengontrol diri. Maksudnya adalah menetapkan fee pengurus yang wajar. Bagi Imran, dirinya berusaha berfikir rasional saat menentukan fee, terutama untuk pengurus PKPU, menghindari prinsip ‘aji mumpung’ dan memberatkan debitur. Karena dari hal semacam ini bisa membuka peluang debitur untuk menuntut kurator/pengurus ke ranah pidana. 

“Kalau memaksakan fee maksimal sesuai aturan, orang bisa kapok dan nggak mau pake jasa kita lagi,” tuturnya. Setidaknya pengalamannya sebagai kurator/pengurus sudah membuktikan bahwa pekerjaan akan datang dengan sendirinya sepanjang bekerja dengan baik, benar, dan sesuai dengan ketentuan UU Kepailitan.

Kriminalisasi mungkin masih menjadi momok bagi kurator/pengurus. Karena dibalik fee yang menggiurkan, kurator juga dibayang-bayangi masuk bui, yang berdampak pada psikis dan pekerjaan. Namun sepanjang sudah menjalani tugas sesuai UU dan kode etik profesi, kurator/pengurus seharusnya mempunyai posisi yang kuat untuk membantah tuduhan tersebut. Tak hanya itu, perlunya kesamaan pemahaman antara UU Kepailitan dan penegak hukum terkait tugas dan fungsi kurator. Jangan ada lagi kriminalisasi kurator.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *