PIJAR-JAKARTA – Kasus kebocoran data pribadi dan pelanggaran hak digital masyarakat mengalami tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Lembaga regional yang fokus pada pelindungan kebebasan digital, South-East Asia Freedom Network (Safenet) mempublikasikan laporan mengenai tren kebocoran data pribadi dan pelanggaran hak digital di Indonesia sepanjang 2022 bertajuk ‘Robohnya Hak-hak Digital Kami’, Jumat (24/2).
Koordinator dan Editor Penyusunan Laporan Situasi Safenet Anton Muhadir, menyampaikan dalam pembatasan hak digital, pemutusan akses internet pada kelompok-kelompok kritis menjadi persoalan yang mencolok sepanjang 2022. Salah satu contohnya terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Februari 2022. Pemutusan internet ini terkait dengan penolakan warga terhadap rencana penambangan batu di desa ini.
Dia menerangkan, lazimnya negara-negara otoritarian lain, seperti Iran, China, dan Ethiopia, pemutusan akses Internet di Wadas menjadi bagian dari represi digital oleh negara. Wadas hanya salah satu contoh. Pemutusan, pembatasan, atau pencekikan akses Internet juga terjadi di tempat lain dengan beragam alasan.
Laporan tersebut menunjukan sepanjang tahun 2022 telah terjadi gangguan akses Internet setidaknya 36 kali. Papua masih menjadi wilayah paling banyak mengalami pemutusan akses Internet baik karena alasan teknis, semacam kabel bawah laut putus, maupun hal politis, seperti adanya konflik sosial ataupun sabotase oleh kelompok bersenjata.
Alasan politis pula yang melatarbelakangi pemblokiran akses Internet di Indonesia pada Agustus 2022. Dasar pijakan melakukan pemblokiran adalah Peraturan Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No 5 tahun 2020. Regulasi ini mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat untuk mendaftar dan memberikan akses kepada pemerintah dan penegak hukum terhadap data pribadi penggunanya. Beberapa aplikasi dan platform tidak atau belum mendaftarkan diri ketika Permenkominfo berlaku sejak Agustus 2022. Akibatnya, sekitar 48 aplikasi, gim, dan platform digital pun terblokir.
“Situasi ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara gangguan Internet, baik sengaja ataupun tidak, dengan aktivitas sosial politik,” ujarnya.
Anton menambahkan, periode 2022 bisa dianggap menjadi babak baru merosotnya kebebasan berekspresi di Indonesia. Selain karena tidak ada perkembangan berarti terhadap desakan revisi pasal-pasal bermasalah dalam UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pengesahan regulasi baru seperti UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pun semakin membuka lebih lebar pintu pemidanaan ekspresi terhadap warganet.
Kelompok kritis, seperti aktivis, jurnalis, dan mahasiswa, yang menggunakan media digital untuk berekspresi masih terus menghadapi ancaman pasal karet UU 19/2016 dan KUHP. Pelapor berlindung di balik UU 19/2016 dan KUHP untuk melaporkan warganet ke polisi. Maka, jumlah kriminalisasi terhadap ekspresi pada 2022 pun meningkat pesat.
Tercatat sebanyak 97 kasus pemidanaan yang melibatkan 107 orang terlapor. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu sebanyak 30 kasus dengan 38 orang korban kriminalisasi. Jumlah yang meningkat drastis ini sekaligus menempatkan tahun 2022 sebagai tahun dengan jumlah pemidanaan terbanyak dalam 9 tahun terakhir.
Latar belakang korban pemidanaan ekspresi paling banyak adalah warganet (32 orang), disusul pesohor termasuk pemengaruh (influencer) dan pembuat konten (19 orang), aktivis (16 orang), serta mahasiswa (11 orang). Selanjutnya 8 orang advokat dan 5 orang pejabat publik juga dikriminalisasi.
Menurut Anton, bertambahnya jumlah terlapor juga karena dalam beberapa laporan jumlah orang yang dilaporkan atau ditangkap pada satu kasus mencapai lebih dari lima orang, sebagaimana terjadi terhadap mahasiswa pegiat Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM Lintas) IAIN Ambon.
Pasal utama yang digunakan untuk memidanakan masih didominasi dugaan pelanggaran UU 19/2016. Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama serta pasal 28 ayat (2) terkait ujaran kebencian masih tetap menjadi pasal populer. Pasal-pasal UU 19/2016 tersebut juga sering dilapis dengan menggunakan Pasal 310 KUHP lama terkait pencemaran nama dan Pasal 14-15 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terkait berita bohong.
Pelapor yang menggunakan Pasal 27 ayat (3) mayoritas merupakan pimpinan organisasi atau institusi yang mewakili kelompok atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan, disusul oleh para pesohor, juga pengusaha. Menurutnya, Ketika korban kriminalisasi terhadap ekspresi di ranah digital terus berjatuhan.
Sayangnya, tidak ada perkembangan berarti dengan upaya revisi UU 19/2016 yang didorong sejak 2021. Upaya organisasi masyarakat sipil hingga Paguyuban Korban UU ITE yang mendesak pemerintah agar segera membahas dan merevisi pasal-pasal bermasalah dalam UU ini tidak membuahkan hasil.
“Ambruknya hak-hak digital itu terlihat semakin parah ketika melihatnya dari sisi hak atas rasa aman,” imbuhnya.
Sehubungan kebocoran data pribadi, selama tahun 2022, terjadi insiden keamanan digital sebanyak 302 kali. Artinya, rata-rata terjadi lebih dari 25 insiden tiap bulan. Angka tersebut meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu 147 insiden (2020) dan 193 insiden (2021). Tiga bulan tertinggi jumlah insidennya adalah September, Agustus, dan April.
“Maraknya serangan digital tidak bisa dilepaskan dari situasi politik nasional maupun lokal. Pada September 2022, terjadi serangan masif terhadap akun Twitter Mata Najwa, jurnalis, staf media, maupun mantan staf Narasi TV. Sebanyak 30 pekerja media Narasi TV tersebut termasuk pemimpin redaksi, produser, reporter, desainer, dan staf sumber daya manusia,” ungkap Anton.
Perwakilan Koalisi Advokasi Perlindungan Data Pribadi Shevierra Damadiyah, menyampaikan pemerintah harus bertanggung jawab atas perlindungan hak digital dan data pribadi masyarakat. Terlebih, kebocoran data pribadi terdapat pada aplikasi-aplikasi yang dimiliki badan publik. Baginya, laporan mengenai tren kebocoran data pribadi dan pelanggaran hak digital di Indonesia sepanjang 2022 menarik.
“Tapi enggak surprise. Insitusi publik banyak sekali kebocoran data pribadi. Bisa jadi kebocorannya lebih banyak dari itu. Pemerintah selalu menyangkal saat kebocoran data pribadi dan tidak ada upaya yang diambil. Sehingga pemerintah harus tanggung jawab,” pungkasnya.