PIJAR–JAKARTA – Proses pembahasan Perubahan Keempat UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki babak baru. Ditandai dengan digelarnya rapat kerja antara Komisi III dengan pemerintah yang menyepakati RUU MK menjadi usul inisiatif DPR. Selain itu, RUU disepakati bakal dibahas di masa sidang berikutnya antara DPR dan pemerintah.
Anggota Komisi III Habiburokhman mewakili komisinya mengurai poin dalam perubahan keempat UU 24/2003. Setidaknya ada empat poin penting yang menjadi pembahasan nantinya. Pertama, persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi. Kedua, evaluasi hakim konstitusi. Ketiga, tentang unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK (MKMK). Keempat, penghapusan ketentuan peralihan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
“Perubahan UU ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan putusan MK No.96/PUU-XVIII/2020 dan No.56/PUU-XX/2022,” ujarnya di ruang Komisi III, Rabu (15/2/2023) kemarin.
Menanggapi empat poin tersebut, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh Mahfud MD berpandangan, pemerintah sedianya tak memiliki agenda merevisi UU 24/2023. Perdebatan di internal pemerintah untuk merespons RUU usulan DPR itu tergolong seru.
Tapi mengingat DPR telah menggunakan haknya dan mengajukan usul inisiatif perubahan UU 24/2003 serta prosesnya sudah sesuai prosedur, pemerintah menawarkan alternatif melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) sebagai upaya perbaikan terhadap MK. “Artinya kami setuju usul (RUU Perubahan Keempat UU 24/2003, red) ini untuk dibahas,” ujarnya.
Mewakili Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan pandangan pemerintah, Mahfud menjelaskan kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan pilar utama terselenggaranya negara hukum sebagaimana mandat konstitusi. Dalam hal ini, MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang kemerdekaannya dijamin Pasal 24 UUD 1945
“Prinsip kekuasaan kehakiman merdeka artinya bebas dari pengaruh kekuasan lainnya untuk selenggarakan pengadilan sehingga menghasilkan putusan objektif dan tidak memihak,” ujar Mahfud yang juga mantan Ketua MK itu
Jaminan kekuasaan kehakiman mutlak diperlukan, tak terkecuali untuk MK sebagai penjaga konstitusi. MK sebagai penafsir tunggal dan penjaga konstitusi agar dapat berperan lebih optimal sesuai harapan pencari keadilan.
Menurut Mahfud, dalam negara hukum modern setidaknya ada 2 prinsip yang menjadi acuan utama dalam sistem peradilan. Yakni independensi dan imparsialitas lembaga yudisial. Parameter kemandirian lembaga kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari lembaga itu sendiri. Independensi mutlak diperlukan untuk menegakan rule of law. Proses peradilan yang tidak memihak harus ada dalam negara hukum.
Kemudian asas legalitas karena pemerintah bertindak atas dasar hukum yang berlaku, jaminan terhadap HAM, dan sistem pemerintahan berdasarkan konstitusi. Melalui kemandirian kekuasaan kehakiman Mahfud yakin MK bisa mengontrol cabang kekuasaan lainnya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, pengabaian Hak Asasi Manusia (HAM) agar terselenggara sistem pemerintahan demokratis. Hal itu sesuai berbagai deklarasi internasional seperti DUHAM dan konvensi Wina serta lainnya.
Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran, martabat, dan penegakan kode etik hakim konstitusi diperlukan reposisi keanggotaan Majelis Kehormatan MK dalam rangka melaksanakan putusan MK No.56/PUU-XX/2022. Mahfud memaparkan makna ‘menjaga’ mengandung tindakan bersifat preventif, mencegah dan menghindari pelanggaran etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara. Kemudian penindakan berupa penjatuhan sanksi kepada hakim yang terbukti melakukan pelanggaran etik.
“Besar harapan kami RUU ini dapat segera dibahas,” imbuhnya.
Ketua Komisi III, Bambang Wuryanto, menghitung pemerintah menyampaikan sebanyak 71 DIM. Kemudian disepakati Wakil ketua Komisi III DPR, Adies Kadir, dipilih sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) untuk membahas RUU tersebut.