PIJAR–JAKARTA – Di era serba mudah dan serba teknologi informasi saat ini memberikan segudang kemudahan bagi masyarakat. Segala kebutuhan kehidupan terbantu dengan beragamnya inovasi teknologi, khususnya di layanan jasa keuangan.
Namun, kemudahan tersebut tidak dibarengi dengan literasi keuangan atau pemahaman yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat selaku yang menjalankan kehidupan.
Salah satu yang ada di dalam layanan keuangan adalah peminjaman kepada nasabah. Layanan pinjaman ini beragam bentuknya. Salah mengartikan maka masyarakat dapat terjebak di dalam pinjaman ilegal.
Tomi Joko Irianto selaku Pengawas Senior Deputi Direktur Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan masyarakat masih banyak yang belum bisa membedakan pinjaman online dengan Peer to Peer Lending (P2P Lending).
“Bedanya pinjaman online dan P2P Lending itu ya pinjaman online adalah transaksi pinjam meminjam berdasarkan penggunaan teknologi informasi yang dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai dari bank hingga koperasi digital. Sedangkan P2P Lending itu peran platform penyelenggara yang hanya sebagai perantara, peran P2P Lending mempertemukan orang yang mau meminjam dengan si peminjam,” jelas Tomi dalam diskusi publik yang diselenggarakan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Rabu (15/2).
Banyaknya dispute atau sengketa yang membawa nama P2P Lending, sesungguhnya karena masyarakat belum memahami terkait dengan mekanisme P2P Lending itu sendiri.
“Saya pastikan dispute terjadi karena yang bersangkutan belum memahami perjanjian di dalam P2P Lending. Nah, ini yang perlu dipahami oleh masyarakat yaitu terkait perjanjian dan alur uangnya,” lanjut Tomi.
Memahami perjanjian adalah syarat wajib sebelum meminjam uang. Ada perjanjian antara lender dan borrower, lender dengan platform. Isi perjanjiannya berupa berapa besaran yang dipinjam, bunga, hingga risiko. Menurut Tomi, inilah hal yang paling krusial terkait bisnis P2P Lending.
Terdapat karakteristik yang perlu diketahui sebelum menggunakan P2P Lending, di antaranya dana tidak dijamin LPS, risiko kredit pada pemberi dana, risiko pendanaan relatif tinggi, bunga lebih tinggi. Namun dibarengi dengan karakteristik yang memiliki proses sangat cepat, persyaratan mudah, tanpa batas waktu dan tempat, serta dapat memilih pihak yang didanai.
Meski begitu, P2P Lending terdaftar resmi dan diawasi oleh OJK. Hal ini dikarenakan P2P Lending masih termasuk ke dalam lembaga jasa keuangan lainnya.
“Pengawasannya mulai dari proses perizinan yang diawasi oleh OJK. Kita lakukan live demo, bagaimana sistem yang dipakai aman atau tidak, sertifikasi keamanannya bagaimana, direksi dan komisaris mumpuni atau tidak, hingga kita lakukan analisis kelengkapan dokumen dan kepemilikan sistem, kalau dinilai layak ya kita kasih izin,” Imbuhnya.
Terkait keluarnya Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 sebagai pengganti POJK No.77 Tahun 2016 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, pengawasan P2P Lending dilakukan dengan dua cara yaitu off-site dan on-site.
“Untuk off-site ada analisis laporan berkala kegiatan operasional penyelenggaraan P2P Lending yang diberikan oleh penyelenggara, analisis dokumen rencana bisnis serta pengawasan terhadap implementasi rencana bisnis, analisis laporan insidental dari dokumen yang disampaikan penyelenggara P2P Lending dan pengaduan konsumen. Sedangkan untuk on-site ada pemeriksaan langsung ke kantor penyelenggara,” kata dia.
Tidak lupa, dalam rangka memaksimalkan dan untuk mengoptimalisasi proses pengawasan, OJK membangun dan mengembangkan sistem teknologi informasi yaitu Silaras dan Pusdafil.