Guru Besar Ini Sebut Perppu Cipta Kerja Tak Penuhi Syarat Konstitusi

PIJAR- JAKARTA – Hasil rapat badan legislasi (Baleg) DPR RI Rabu (15/02/2023) kemarin menyepakati Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dibawa ke tahap pembicaraan tingkat II atau sidang paripurna pada masa sidang berikutnya. Keputusan ini kembali menuai protes dan kritik dari beberapa elemen masyarakat, salah satunya dari kalangan akademisi.  

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti menyimpulkan Perppu No.2 Tahun 2022 tidak memenuhi syarat konstitusi. Beberapa hal yang membuat Perppu No.2 Tahun 2022 tidak memenuhi syarat konstitusi antara lain tidak memenuhi syarat menerbitkan Perppu yakni adanya ihwal kegentingan yang memaksa.

Kemudian syarat prosedur membahas Perppu yakni pada masa sidang berikutnya. Setelah masa persidangan III DPR tahun sidang 2022-2023 yang berlangsung 16 Januari–16 Februari 2023 berlalu, maka Perppu No.2 Tahun 2022 dianggap tidak memenuhi syarat konstitusi. “Sebelum dibahas DPR apakah ihwal kegentingan memaksa terpenuhi? Ini tidak terpenuhi,” kata Prof Susi dalam diskusi bertema “Cabut Perppu Ciptaker Segera!”, Minggu (19/2/2023) kemarin.

Prof Susi mengingatkan persetujuan Baleg DPR untuk membawa Perppu pada pembicaraan tingkat II atau sidang paripurna bukan berarti bentuk persetujuan DPR. Persetujuan di tingkat I tak otomatis disetujui dalam sidang paripurna. Sidang paripurna adalah forum tertinggi di DPR yang harus dihormati dan dilaksanakan pembentuk UU dalam menjalankan fungsi legislasi.

Menurut Prof Susi, Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir melalui UU No.13 Tahun 2022 menyebut yang dimaksud “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan.”

Melihat Perppu No.2 Tahun 2022 diterbitkan Jum’at (30/12/2022), maka masa sidang pertama yakni masa persidangan III DPR tahun sidang 2022-2023 yang berlangsung 16 Januari–16 Februari 2023. Namun, faktanya dalam masa sidang tersebut Perppu No.2 Tahun 2022 tidak disahkan DPR menjadi UU.

Persetujuan Baleg DPR RI menurut Prof Susi tidak dapat digunakan sebagai argumen Perppu No.2 Tahun 2022 telah disetujui DPR. Perppu harus dibahas secara ketat, tidak seperti RUU biasa. Karakter Perppu diktator konstitusional, sehingga harus ada langkah mencegah tidak terjadi tindakan sewenang-wenang yakni melalui DPR.

Ia berpendapat Perppu No.2 Tahun 2022 menimbulkan presiden buruk karena putusan MK digugurkan melalui peraturan abnormal seperti Perppu. Terjadi kondisi konstitusi tanpa konstitusionalisme; pelemahan prinsip negara hukum; amputasi konstitusional dari perspektif demokrasi; dan legislative ommision.

Dianggap tidak mendapat persetujuan DPR

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan Perppu 2/2022 layak dicabut. Setidaknya ada beberapa alasan Perppu yang diterbitkan Presiden Joko Widodo di penghujung tahun 2022 itu harus dicabut. Antara lain, karena Perppu 2/2022 tidak mendapat persetujuan DPR di sidang paripurna dalam masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 pada rentang 16 Januari–16 Februari 2023. 

Fajri menjelaskan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur Perppu diterbitkan Presiden karena ihwal kegentingan yang memaksa. Walau Perppu merupakan subjektivitas presiden, tapi ada koridor yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pertimbangan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009. Antara lain terjadi kekosongan hukum dan tidak bisa diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa.

“Tapi apa yang terjadi dalam masa sidang kemarin di DPR, tidak ada pengesahan atau penolakan oleh DPR. Itu artinya situasi baik-baik saja dan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 bisa dilakukan sebagaimana Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, dibahas ulang dan melibatkan partisipasi publik,” ujar Fajri Nursyamsi.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur melihat DPR tidak mau melakukan tugas mengevaluasi dan mengawasi pemerintah. Berbagai UU diterbitkan mengikuti kepentingan pemodal, seperti UU MK, UU Minerba dan Cipta Kerja. “Kita tidak melihat fungsi DPR sebagai wakil rakyat,” tegasnya.

Soal Perppu, Isnur melihat sikap DPR menunjukkan tidak ada kegentingan yang memaksa. Hal itu terlihat dari proses setelah Presiden menerbitkan Perppu akhir tahun 2022 kemudian DPR menanggapinya santai dengan tidak membahas Perppu dalam masa sidang yang sudah ditetapkan. Jika dianggap penting karena dalam situasi genting dan darurat seharusnya DPR segera membahas Perppu untuk disetujui atau ditolak.

“Kebohongan semakin terkuak, tidak ada kegentingan memaksa, tapi pemerintah memaksakan kegentingan. Ini biasanya karakter otoritarian,” kritiknya.

Menurutnya, rakyat saat ini berada dalam situasi yang sulit menghadapi berbagai kebijakan pemerintah. Isnur menilai pemerintah telah mengabaikan putusan MK yang meminta membahas ulang UU 11/2022 dengan melibatkan partisipasi bermakna. Hal itu dibuktikan dengan terbitnya Perppu 2/2022. Sebab, Perppu merupakan subjektivitas presiden, sehingga tidak perlu ada partisipasi publik bermakna. Berharap DPR melakukan tindakan sesuai harapan rakyat, menurut Isnur juga jauh panggang dari api.

Terakhir, rakyat juga sulit untuk percaya terhadap MK karena ada beberapa peristiwa, misalnya ada pemecatan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR. Kemudian hakim konstitusi juga disorot karena ditengarai/diduga mengubah sebagian frasa dalam putusan. “Saat ini rakyat pada titik dimana tidak percaya terhadap MK, lembaga eksekutif, dan legislatif. Maka yang diperlukan sekarang adalah gerakan rakyat!” ajaknya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *