Langgar Syarat Formil, Perppu Ciptaker Harus Dicabut!

PIJAR-JAKARTA – Belum lama mendapat persetujuan menjadi Undang-Undang (UU) dari Badan Legislasi DPR (Baleg), Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) diminta untuk dicabut karena tidak mendapatkan persetujuan DPR. Desakan itu disampaikan Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nuryamsi dalam pernyataannya, Jum’at (17/2/2023). 

Persetujuan dimaksud dengan mengacu Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Pasal tersebut menugaskan DPR untuk segera membahas suatu Perppu yang baru disahkan oleh Presiden untuk mengambil keputusan menyetujui atau menolak Perppu dimaksud. Selanjutnya Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu itu harus dicabut.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) sudah harus dicabut karena masuk dalam kategori tidak mendapat persetujuan DPR. Penjelasannya adalah karena Perppu Ciptaker sendiri disahkan pada 30 Desember 2022, sehingga masa persidangan DPR yang berikut atau terdekat dari pengesahan itu adalah pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 yang dimulai pada 10 Januari hingga 16 Februari 2023.

Sementara dalam periode tersebut, DPR belum mengambil keputusan menyetujui atau menolak dalam Sidang Paripurna, sehingga sampai Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 berakhir, Perppu Ciptaker belum mendapat persetujuan DPR.

“Bagaimana dengan persetujuan dalam Panja yang dibentuk oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada tanggal 15 Februari 2023 lalu? Persetujuan tersebut belum dapat dikatakan sebagai suatu ‘persetujuan DPR’ karena keputusan tertinggi DPR secara kelembagaan ada pada Rapat Paripurna, bukan pada rapat Baleg,” kata Fajri.

Fajri menjelaskan logika dari Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 di atas bahwa bentuk kepastian hukum mengenai keberlakuan dari produk hukum yang dibentuk dalam kondisi tidak biasa atau berdasarkan ihwal kegentingan yang memaksa. Selain itu, Pasal 22 ayat (3) juga merupakan bentuk perimbangan kekuasaan antara DPR dan Presiden dalam menggunakan kewenangannya. Sebab, pada dasarnya Perppu adalah produk hukum setingkat UU, dimana pembentukan UU harus melalui persetujuan bersama dengan DPR.

Alur berpikir yang sama juga terdapat dalam ketentuan mengenai pengesahan Undang-Undang (UU). Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945 mengatur bahwa dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka RUU sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pasal 20 ayat (5) itu juga merupakan bentuk dari kepastian hukum keberlakuan suatu UU, sekaligus perimbangan kewenangan DPR dan Presiden mengingat dalam prosesnya, RUU sudah melewati tahap persetujuan bersama DPR dan Presiden. Dalam pelaksanaannya, Pasal 20 ayat (5) tidak memerlukan Presiden yang secara aktif menyatakan tidak setuju pada suatu rancangan undang-undang. Posisi Presiden yang yang tidak mengesahkan RUU pada suatu tempo waktu tertentu pun sudah memenuhi syarat bahwa RUU itu sudah dianggap sah dan harus diundangkan.

Fajri juga meminta DPR untuk stop ugal-ugalan praktik legislasi. Menurutnya, Perppu Ciptaker sudah kontroversial sejak diundangkan pada tanggal 30 Desember 2022. Perppu ini terindikasi mengkhianati amanah Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang pada kesimpulannya menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional. Alih-alih memperbaiki proses, Perppu Ciptaker justru dibentuk dengan mengulangi kesalahan yang sama dan tidak memenuhi ruang partisipasi publik yang bermakna.

“Bentuk hukum Perppu sendiri merupakan simbol bahwa Presiden ingin memutuskan secara cepat dan sepihak dengan dalih hal ihwal kegentingan yang memaksa,” kata Fajri.

Permasalahan lain yang patut mendapat sorotan publik adalah abainya Presiden dalam menerapkan batasan untuk menggunakan Perppu sebagai produk hukum dan menginterpretasikan alasan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Pengaturan mengenai Perppu terdapat dalam dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 dan sudah mendapatkan batasannya dalam Putusan MK 138/PUU-VII/2009.

Seharusnya DPR bersikap kritis dan menggunakan perannya untuk mengimbangi kekuasaan Presiden, mampu dan mau menolak Perppu Ciptaker karena tidak memenuhi batasan yang sudah digariskan MK dalam Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 tersebut. Publik perlu mencatat praktik ugal ugalan ini sebagai bagian dari kinerja DPR 2019-2024 yang gagal menjalankan peran esensial sebagai lembaga perwakilan rakyat dan penyeimbang kekuasaan Presiden.

“Ke depan, publik dapat menjadikanya dasar pertimbangan dalam menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2024 kelak,” pesannya.

Untuk itu, PSHK mendesak: pertama, DPR dan Presiden patuh terhadap Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945, dan tidak memaksakan kehendak untuk tidak mencabut Perppu Ciptaker; kedua Presiden segera mencabut Perppu Ciptaker sebagai kelengkapan administrasi melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945; ketiga Presiden agar tertib dalam menjalankan perannya dengan tidak mudah membentuk Perppu, dan mampu lebih menaati batasan pembentukan Perppu ke depan berdasarkan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009; keempat DPR dan Presiden tidak bermanuver ugal ugalan kembali dalam melaksanakan amanat Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dengan fokus kepada melaksanakan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sebelumnya, suara penolakan Perppu Ciptaker menjadi UU juga berasal dari DPD. Ketua Pimpinan PPUU DPD perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dedy Iskandar Batubara menyampaikan dengan tegas menolak untuk menyetujui Perppu Ciptaker menjadi UU.

“Atas nama kepentingan masyarakat daerah dan pemerintah daerah serta memperhatikan prinsip-prinsip konstitusional dalam UUD 1945, maka DPD berpendapat bahwa Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebaiknya tidak perlu untuk disetujui menjadi Undang-Undang,” ujar Dedy dalam Rapat Kerja Baleg bersama Pemerintah, Rabu (15/2/2023) kemarin.

Dalam penyampaian pandangan DPD, Dedy menilai DPD memahami Perppu Ciptaker dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum dan mendesak. Namun dalam hal ini pemenuhan meaningful participation yang telah dilakukan pemerintah pada sektoral saja. Padahal pihak paling berdampak akibat kebijakan Cipta Kerja ini adalah masyarakat daerah dan pemerintah daerah. Jika masih dimungkinkan, DPD berpendapat pemerintah daerah dapat melibatkan daerah dan memberi kesempatan pemenuhan partisipasi yang bermakna.

Selain itu, setelah mengamati perjalanan UU No.11 Tahun 2020 hingga akhirnya terbitnya Perppu Ciptaker, materi muatan pengaturan yakni ketenagakerjaan, sertifikasi halal, perpajakan, dan pengelolaan sumber daya alam, DPD meminta pemerintah hendaknya mengkaji kembali pengaturannya agar paket kebijakan tidak hanya menguntungkan pelaku usaha menengah ke atas. Akan tetapi penting masyarakat sebagai konsumen perlu dipikirkan daya beli terdahap kebutuhan pangannya.

*Artikel ini telah terbit di hukumonline.com

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *