PIJAR-JAKARTA – Pemerintah dan DPR terus membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Dalam rapat kerja Komisi IV DPR beberapa waktu lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, mencatat ada sekitar 700 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KSDAHE. Harapannya, pembahasan dapat rampung dan disahkan Maret mendatang.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Working Group ICCAs Indonesia (WGII) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengurai berbagai catatan terkait RUU yang nantinya mengganti UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya itu.
Anggota koalisi Yance Arizona, mengatakan koalisi sedikitnya mengusulkan 7 poin utama untuk penyempurnaan RUU KSDAHE. Pertama, RUU harus mengutamakan paradigma konservasi berbasis Hak Asasi Manusia (HAM). Selama ini, UU 5/1990 sangat berpusat pada pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan konservasi. Padahal kapasitas pemerintah melakukan kewajiban tersebut sangat terbatas mengingat wilayah konservasi tergolong luas yakni lebih dari 27 juta hektar.
“Masyarakat yang tinggal di wilayah konservasi sebagai ujung tombak kesuksesan konservasi,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Pandangan Masyarakat Sipil Terhadap RUU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem’, Senin (13/02/2023) kemarin.
Kedua, RUU KSDAHE perlu menerjemahkan komitmen internasional pemerintah Indonesia di bidang lingkungan hidup. Misalnya dalam Global Biodiversity Framework Post 2020 ada sejumlah target diantaranya terkait pengelolaan wilayah konservasi berbasis masyarakat. Dengan demikian, komitmen internasional itu terhubung dengan politik di tingkat nasional.
Ketiga, dalam melakukan penetapan kawasan konservasi, pemerintah harus memberikan informasi yang mengutamakan hak-hak masyarakat hukum adat atau lokal. Masyarakat berhak menyatakan setuju atau tidak terhadap program yang akan digurlirkan. RUU KSDAHE masih menggunakan cara lama dimana kawasan konservasi ditetapkan oleh pemerintah melalui rekomendasi lembaga penelitian seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).
Keempat, perlu pengaturan yang lebih kuat tentang kearifan lokal dalam kegiatan konservasi dan areal kelola konservasi masyarakat. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menerangkan, RUU KSDAHE sudah mengatur ketentuan tersebut tapi sifatnya masih umum. Oleh karena itu, harus dibuat lebih detil, sehingga masyarakat adat dan lokal bisa berpartisipasi.
Kelima, mencegah kriminalisasi terhadap masyarakat. Yance mencatat RUU KSDAHE memperluas pengaturan pidana tak hanya berlaku di kawasan konservasi tapi juga pada ekosistem penting di luar kawasan konservasi. Ketentuan Pasal 9 RUU KSDAHE menyamakan ancaman pidana bagi perorangan dan korporasi. Seharusnya, ancaman itu dibuat berbeda misalnya untuk masyarakat yang diatur harusnya bukan ancaman pidana tapi insentif untuk melakukan konservasi. Pidana lebih tepat dikenakan pada korporasi yang sudah mengantongi izin, tapi tidak melakukan konservasi.
Keenam, koalisi menyoroti prosedur pengakuan terhadap masyarakat hukum adat yang berbelit dan rumit sebagaimana ketentuan yang diatur pada berbagai regulasi. Misalnya harus ada peraturan daerah yang mengakui masyarakat hukum adat tersebut. Proses itu menurut Yance tidak efektif dan efisien. Pemerintah harusnya cukup melakukan pendataan seperti pembuatan KTP. Pendataan itu merekam realitas masyarakat hukum adat.
“RUU KSDAHE berpeluang mengoreksi mekanisme pengakuan terhadap masyarakat hukum adat yang ada di peraturan lain,” ujarnya.
Ketujuh, perlu ada partisipasi publik yang bermakna sebagaimana mandat UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahkan koalisi mengusulkan pembahasan pasal per pasal RUU KSDAHE melibatkan masyarakat sipil seperti yang dilakukan ketika membahas UU TPKS.
“Masyarakat harus diajak musyawarah bersama membuat ketentuan (collaborative law making),” pungkasnya.
*artikel ini telah terbit di hukumonline.com