PIJAR-JAKARTA – Menjadi negara kepulauan memiliki ciri khas tersendiri bagi Indonesia di mata dunia internasional. Tapi bagi Indonesia sedianya menjadi negara kepulauan secara geografis mendapat pengakuan dunia internasional bukanlah perkara mudah. Apalagi Indonesia yang notabene sebagai bekas negara jajahan. Perjuangan panjang pun dilaluinya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana, mengatakan setidaknya ada 4 tonggak sejarah Indonesia sebagai negara kepulauan. Pertama, pada masa kolonial Belanda, Indonesia tidak dikenal sebagai negara kepulauan. Masing-masing pulau memiliki laut teritorial sepanjang 3 mil. Alhasil, kapal niaga dan militer negara lain bebas melewati wilayah laut sekitar Indonesia.
Pasca Indonesia merdeka, persoalan pengakuan negara kepulauan menjadi perhatian. Singkat cerita, Perdana Menteri Djuanda kala itu mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana laut yang ada di sekitar kepulauan merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Tapi bagi Prof Hikmahanto deklarasi itu masih bersifat unilateral. Sementara dalam hukum internasional, deklarasi itu harus disepakati negara lain.
“Pada 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djuanda menyatakan kepada dunia bahwa indonesia menganggap laut yang memisahkan menjadi laut penghubung antar pulau di Indonesia dan dia bicara negara kepulauan. Ini tonggak pertama yang dicetuskan Djuanda,” kata Prof hikmahanto dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Outlook Indonesia Sebagai Negara Arsipelago menuju 2045’, Senin (13/2/2023).
Kedua, untuk mendapat kesepakatan internasional itu, Prof Mochtar Kusumaatmadja diperintahkan untuk menyambangi berbagai konferensi hukum laut internasional. Tujuannya untuk menyampaikan pandangan Indonesia sebagaimana Deklarasi Djuanda. Kala itu Mochtar Kusumaatmadja merupakan tokoh penting dalam menggagas lahirnya deklarasi tersebut.
Prof Hikmahanto mengatakan, perjuangan itu terus berlanjut dan konsisten dilakukan karena kemudian Mochtar Kusumaatmadja diangkat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia periode 1978-1988. Perjuangan Indonesia agar diakui masyarakat internasional sebagai negara kepulauan berbuah hasil dengan terbitnya konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982.
“Ini suatu keberhasilan karena dalam konvensi itu ada konsep negara kepulaian,” ujarnya.
Ketiga, setelah berhasil masuk dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Prof Hik begitu biasa disapa berpandangan, perjuangan Indonesia untuk menegaskan sebagai negara kepulauan belum berakhir. Oleh karena itu, pada tonggak sejarah ketiga, yakni delimitasi wilayah laut dan penegakan di wilayah laut Indonesia. Sekalipun Indonesia negara anggota UNCLOS, bukan berarti hukum laut internasional itu bisa tegak dengan sendirinya, tapi butuh upaya serius dari pemerintah untuk mewujudkannya.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu menerangkan, wilayah Indonesia, terutama laut berbatasan dengan sejumlah negara seperti Malaysia, Vietnam, Australia, Timor Leste, Filipina, dan lainnya. Indonesia harus serius menegosiasikan batas laut dengan negara tetangga. Misalnya, Malaysia merupakan anggota UNCLOS (1982), tapi ketika berunding batas laut dengan Indonesia yang digunakan malah batas laut sebagaimana peta tahun 1979.
Ada beberapa alasan pemerintah Malaysia tidak mau mengikuti UNCLOS tahun 1982 kendati mereka sudah meratifikasinya. Antara lain batas wilayah kadang tidak ditentukan pada aturan tertulis semata, tapi juga faktor sejarah. Kemudian siapa yang ‘hadir’ di wilayah tersebut. Menurutnya, bila hanya mengklaim gambar peta saja, maka tidak ada artinya. Terakhir, pemerintah Malaysia tidak mau mengalah karena khawatir akan dihujat rakyat.
“Ini tantangan yang kita hadapi dengan Malaysia, belum ada satu pun yang disepakati (tentang batas laut,-red),” ujarnya.
Keempat, tonggak sejarah Indonesia sebagai negara kepulauan dilanjutkan Presiden Joko Widodo dengan menetapkan Indonesia sebagai negara maritim. Hal tersebut tak sekedar berkutat dengan konvensi hukum laut internasional, tapi juga bagaimana orientasi pemerintah dan masyarakat utamanya terhadap laut.
*artikel ini terbit pada hukumonline.com