PIJAR-JAKARTA – Penyusunan Rancangan Undang Undang tentang Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam (SPSDA) sudah memasuki tahap inventarisasi materi khususnya mengenai pengelolaan SDA di berbagai daerah. Fokus inventarisasi materi ini untuk mendapatkan gambaran utuh dan kritis dari para pemangku kepentingan di daerah atas praktik pemanfaatan sumber daya alam dan dampaknya terhadap pembangun daerah yang terjadi selama ini. Salah satu muatan RUU ini adalah terkait perimbangan dana bagi hasil SDA.
Anggota Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI, Fahira Idris mengungkapkan, penatakelolaan SDA di Indonesia saat ini perlu diperbaiki. Regulasi terkait SDA saat ini dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan sosiologis dan perkembangan dinamika global yang saat ini terjadi. Perbaikan aturan juga mendesak mengingat adanya perubahan akibat terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang juga menimbulkan disharmoni peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Fahira mengungkapkan, sejumlah riset, kajian, dan fakta di lapangan menunjukan bahwa pengelolaan SDA masih bermasalah sehingga dampak ekonomi dan sosialnya belum sepenuhnya dirasakan rakyat di daerah terutama daerah yang kaya SDA. Padahal, pasal-pasal mengenai SDA dalam konstitusi UUD Negara Republik Indonesia 1945, menurutnya sudah sangat kuat, jelas, dan tegas mengarahkan tata kelola SDA-nya.
“Salah satu muatan atau yang akan diatur dalam RUU ini adalah terkait perimbangan dana bagi hasil SDA. Saya melihat pengelolaan potensi sumber daya alam di daerah yang memiliki cadangan SDA besar masih belum berbanding lurus dengan tingkat kemakmuran rakyat di daerah tersebut. Perimbangan dana bagi hasil SDA menjadi penting diatur untuk memastikan rakyat di daerah sejahtera,” ujar Fahira Idris, Kamis (9/2).
Menurut Fahira, dalam dinamikanya, daerah-daerah kaya SDA mulai bersuara soal perimbangan dana bagi hasil SDA di mana pesan utamanya agar lebih adil dan proporsional yaitu dengan memprioritaskan kepentingan daerah. Tuntutan agar perimbangan dana bagi hasil SDA lebih proporsional sangat beralasan, mengingat daerah kaya SDA menanggung konsekuensi dampak lingkungan dan sosial akibat aktivitas eksploitasi SDA.
“Jangan sampai SDA di daerah tersebut sudah habis, tetapi masyarakatnya tidak kunjung sejahtera dan lingkungannya rusak. Ke depan dibutuhkan sebuah produk hukum setingkat Undang-Undang yang dapat mengatur pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah-daerah secara sistematis dan berkelanjutan dengan memperhatikan pelestarian alam dan lingkungan hidup dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi otonomi daerah yang adil untuk kemakmuran rakyat,” pungkas Fahira.
Selain, perimbangan dana bagi hasil SDA, muatan rumusan sementara muatan materi RUU SPSDA antara lain: Jenis dan klasifikasi sumber daya alam; Tata kelola pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam yang berdasarkan klasifikasinya; Pelestarian lingkungan hidup; pelindungan masyarakat adat; pelibatan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat; Kerjasama antar wilayah sumber daya alam; dan kelembagaan.
Sementara itu, PPUU DPD RI tentang sistem pengelolaan sumber daya alam (SDA) menjaring masukan ke unsur pemerintahan di Aceh serta akademisi, jurnalis hingga para aktivis di Aceh. “Salah satu tempat kunjungan kita adalah Aceh, karena dengan segala keistimewaan dan memiliki SDA yang cukup luar biasa,” kata Ketua PPUU DPD Dr Dedi Iskandar Batubara, di Banda Aceh seperti dikutip dari Antaranews.
Untuk informasi, PPUU adalah alat kelengkapan di DPD RI yang mengkoordinasikan usulan prolegnas di DPD dan berhak menyusun RUU selain Komite di DPD RI. Dedi menyampaikan, pihaknya saat ini sedang menyusun rancangan UU tentang tentang sistem pengelolaan sumber daya alam. Dalam rangka menyerap masukan masyarakat, mereka melakukan sejumlah pertemuan ke beberapa daerah.
Saat ini, kata dia, terkait rancangan UU sistem pengelolaan sumber daya alam yang diinisiasi oleh DPD RI tersebut hanya baru disiapkan naskah akademik, sementara untuk draf nya dalam proses penyusunan. “UU ini adalah inisiatif DPD ini sudah masuk dalam program legislasi nasional, dan sekarang dalam tahapan penyusunan,” ujarnya.
Dedi menuturkan, rancangan UU tersebut diusulkan sebagai salah satu upaya untuk memberikan hasil maksimal terhadap daerah dari kekayaan alamnya. Selama ini, pihaknya merasa daerah belum mendapatkan apa yang semestinya menjadi hak mereka sesuai sebagaimana amanah UUD 1945, di mana SDA harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Menurut Dedi, kemakmuran dari SDA itu belum tercapai meskipun sejauh ini sudah ada beberapa UU tentang sumber daya alam. Tetapi, peraturan yang sudah ada saat ini belum secara spesifik memberikan jaminan kepada daerah mendapatkan hak sesuai kekayaan alamnya atau kepastian kesejahteraan. “Kita melihat SDA itu masih dikelola segelintir orang, dan kemudian menciptakan kelompok kecil yang kaya raya, sementara rakyat dalam posisi yang tidak diuntungkan,” katanya.
UU tersebut, tambah Dedi, diharapkan mampu menjawab semua permasalahan hari ini. Karena itu rancangan regulasi tersebut bakal diatur dengan rapi, sehingga rakyat dan daerah benar-benar lebih sejahtera. “Oleh sebab itu kita terus meminta partisipasi publik dan berharap kepada media, akademisi, aktivis dan masyarakat betul-betul mengawasi rancangan ini sampai jadi,” pungkas Dedi.
*artikel ini telah terbit pada hukumonline.com