PIJAR-JAKARTA – Sejak dibentuk pada 28 April 2021 silam, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terbentuk melalui terbitnya Perpres No.78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Beberapa waktu belakangan, beredar sejumlah isu yang beredar di berbagai media menyinggung keberadaan BRIN. Atas maraknya ragam opini yang beredar tersebut, BRIN akhirnya membuka suara.
“Kita punya 3 fungsi besar. Pertama, sebagai pendukung pembuat kebijakan di berbagai sektor. Kami mendampingi Kementerian, Pemda, Pemkab, Pemkot, Pemprov. Untuk membuat kebijakan yang lebih science-based policy, evidence-based policy, berbasis data, dan seterusnya. Itu dilakukan 3 deputi dari 7 deputi yang ada, ini terkait kebijakan,” ujar Ketua BRIN Laksana Tri Handoko dalam konferensi pers, Jum’at (10/2/2023).
Fungsi kedua sebagai executing agency selaku pelaku riset, mengingat adanya 12 organisasi riset dan 85 pusat riset untuk semua bidang ilmu. Ketiga, fungsi yang belum pernah ada di Indonesia sebelum BRIN lahir adalah fungsi funding agency yang resmi untuk riset dan inovasi. Meski umumnya funding agency hanya sebatas memberikan anggaran, dalam hal ini BRIN memberikan infrastruktur dan periset.
“Kenapa itu penting? Karena kita ingin ke depan, sejak BRIN berdiri, tujuan utamanya bukan membuat BRIN tambah besar. Bukan, yang diinginkan oleh pemerintah adalah Indonesia harus punya lembaga riset. Makin banyak, tapi bukan pemerintah. Lembaga riset industri yang harus berkembang, ini yang akan membuat negara kita maju,” terangnya.
Menurutnya, mandeknya industri R&D (Research & Development) biasanya disebabkan oleh biaya tinggi. Oleh karena itu, pemerintah mengambil risiko untuk membuat industri tersebut seakan menghadirkan R&D tanpa modal. Mengingat baik periset maupun fasilitas dapat memanfaatkan BRIN.
Tri menerangkan untuk melakukan riset cukup memakai 3 modal yakni SDM unggul, infrastruktur, dan anggaran. “SDM unggul 70 persen komponennya, infrastruktur katakanlah 20 persen, anggaran itu sebenarnya paling kecil kontribusinya. Tapi, tanpa anggaran tidak bisa kita mulai itu jelas. Tapi setelah mulai, kontribusi anggaran itu paling kecil, paling penting itu SDM-nya dan infrastrukturnya,” kata dia.
Berkenaan dengan isu BRIN yang diduga menolak untuk membiayai metode deteksi dini tsunami, BRIN menyatakan tidak menolak. Tetapi, proposal riset dari salah satu periset BRIN sebagai sumber informasi belum berhasil memperoleh pendanaan yang terbuka secara kompetitif yang mungkin disebabkan proposal yang disajikan belum sesuai.
Pasalnya, skema pendanaan yang dilakukan BRIN senantiasa digalakkan dengan mekanisme kompetisi terbuka dalam rangka memastikan pelaksana riset mempunyai komitmen dan rekam jejak terbaik berkenaan dengan topik yang diajukan. Hal ini dipandang penting dalam rangka tingkat keberhasilan riset. Faktanya, BRIN mengaku masih banyak proposal lain terkait topik deteksi dini tsunami yang juga dibiayai BRIN.
Tak dipungkiri, kata dia, terjadi sejumlah perubahan berkenaan dengan riset setelah lahirnya BRIN. Salah satunya terkait skema kompetisi terbuka. “Kenapa harus kompetisi? Di semua negara riset itu harus kompetisi. Research without competition is rubbish. Karena kita harus memastikan orang yang punya komitmen memang mau melakukan itu karena niat,” ungkapnya.
Selanjutnya, periset memiliki rekam jejak atau kapasitas melakukan itu. Bila belum mempunyai kapasitas tersebut, maka dapat bergabung dengan orang lain untuk kolaborasi. Tak hanya itu, BRIN juga kini menerapkan sistem reward and punishment yang berbasis output (hasil).
“Poin utama adalah BRIN tidak sekedar ngumpulin lembaga riset, itu nomor satu. Kalau sekedar ngumpulin lembaga riset, kita tidak usah bikin BRIN. Tidak sekedar itu. Kita harus bisa mengkonsolidasikan sumber daya risetnya baik itu manusianya (SDM), infrastrukturnya, maupun anggarannya. Kemudian melakukan perubahan tata kelola,” tegasnya.
Sebagai informasi, isu lain yang sempat ramai mengenai seolah sudah terjadi penyelewengan anggaran di BRIN. Disampaikan proses Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) telah usai dilakukan BPK RI pada akhir 2022 sebagai bagian dari proses likuidasi DIPA pada 5 eks entitas lama (Kemristek, BATAN, BPPT, LAPAN, dan LIPI). Meski demikian, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI tersebut masih belum diterima oleh BRIN.
*artikel ini telah terbit pada hukumonline.com