Konsekuensi Nikah Siri bagi Istri dan Anak

PIJAR – JAKARTA – Meski nikah siri dalam Islam dinyatakan sah, hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya istilah nikah siri. Pun tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hukum nikah siri. Lebih lanjut, hukum mengenai perkawinan diatur secara khusus dalam UU Perkawinan.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menerangkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dilanjutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, pada bagian Penjelasan Umum nomor 4 (b) UU Perkawinan, diterangkan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Dalam pernikahan siri, tidak ada surat nikah siri. Artinya pernikahan ini tidak tercatat dan tidak memiliki kekuatan hukum. Konsekuensinya, istri siri tidak memiliki legalitas di hadapan negara. Nantinya, pengurusan warisan atau harta gono gini saat cerai tidak dapat dilakukan. Konsekuensinya, istri siri tidak dapat menuntut apa pun.

Status Hukum Anak Hasil Nikah Siri

Di mata hukum, anak hasil nikah siri tidak dapat disebutkan sebagai anak yang “sah”. Status anak hasil nikah siri sama halnya dengan anak di luar kawin. Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Lebih lanjut, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinanjo. Pasal 100 KHI menerangkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, kecuali ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum dapat membuktikan dapat membuktikan adanya hubungan darah sebagai ayahnya.

Penting untuk diketahui, anak hasil nikah siri tetap bisa mendapatkan akta kelahiran. Akan tetapi, di dalam akta tersebut, nama yang tercantum hanya nama dari ibunya semata. Agar anak hasil nikah siri diakui ayahnya, diperlukan ketetapan pengadilan atas pengakuan dari sang ayah atas anak tersebut.

Selama putusan pengadilan akan pengakuan sang anak belum didapat, hubungan ayah dan anak hasil nikah siri belum diakui. Alhasil anak tidak berhak atas warisan dari ayahnya. Dari segi hukum Islam, saat diakui, anak dari pernikahan siri hanya berhak atas wasiat wajibah. Sedangkan menurut Pasal 863 KUH Perdata, bila yang meninggal itu meninggalkan keturunan sah menurut undang-undang atau suami atau isteri, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi sepertiga dan bagian yang sedianya mereka terima, seandainya mereka adalah anak-anak sah menurut undang-undang.

Pendaftaran Nikah Siri ke Pengadilan Agama

Untuk mencegah munculnya permasalahan yang timbul akibat pernikahan yang tidak diakui negara, pasangan nikah siri hendaknya mendaftarkan pernikahan mereka dengan isbat nikah. Sebagai informasi, isbat nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sahnya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum.

Isbat nikah dimungkinkan jika ada alasan-alasan atau kebutuhan yang telah ditetapkan. Alasan-alasan ini diatur dalam KHI. Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (3) KHI menerangkan isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

  1. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
  2. hilangnya akta nikah;
  3. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  4. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan; dan
  5. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Perkawinan.

Permohonan isbat nikah dapat diajukan oleh suami, istri, anak, atau wali nikah. Akan tetapi, menurut Pengadilan Agama Tigaraksa, ada syarat-syarat yang mengatur pengajuannya. Apabila suami dan istri masih hidup, keduanya harus menjadi pihak yang mengajukan permohonan. Lalu, jika salah satu pasangan telah meninggal dunia, pihak yang masih hiduplah yang mengajukan permohonan. Selanjutnya, ketidakhadiran pihak tergugat/termohon dalam perkara isbat nikah untuk perceraian tidak mempengaruhi penyelesaian perkara.

Nantinya, setelah isbat nikah ditetapkan, perkawinan akan dianggap sah dan berkekuatan hukum. Penetapan pengadilan kemudian dijadikan dasar penerbitan akta nikah oleh KUA. Pasangan memiliki hubungan hukum serta timbul hak dan kewajiban di antara mereka, seperti harta perkawinan dan kewarisan. Sehubungan dengan itu, pasangan tidak lagi perlu khawatir akan status anak karena anak akan dipandang sebagai anak sah dan dimudahkan pengurusan akta kelahirannya. 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *