PIJAR-JAKARTA – Beberapa hari ini, publik tengah dikejutkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.103/PUU-XX/2002 yang dinilai telah mengandung substansi berbeda antara yang dibacakan dalam persidangan sebagaimana tertuang dalam risalah sidang dengan salinan putusan resminya.
Kejadian ini dipandang sebagai bukti lemahnya pengawasan internal MK terutama bagi hakim konstitusi yang saat ini menjabat. Ramainya pemberitaan berbagai media massa mengenai dugaan mengubah frasa dari “Dengan Demikian” menjadi “Ke depan” dalam Putusan MK No.103/PUU-XX/2022 itu, membuat MK akhirnya buka suara menyikapi isu yang kian berkembang di masyarakat ini.
“Kami telah menyepakati bahwa penyelesaian mengenai bagaimana kronologisnya atau kebenaran isu itu tidak dilakukan oleh kami sendiri sebagai hakim. Tetapi akan diselesaikan melalui Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK),” ujar Hakim Konstitusi Prof Enny Nurbaningsih dalam konferensi pers di Gedung MK, Senin (30/1/2023).
Ia menerangkan Peraturan MK tentang MKMK juga akan segera ditandatangani. Sebelumnya, dikenal sebagai Dewan Etik MK setelah terbitnya UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). “Supaya ini bisa lebih fair, independen, kami serahkan kepada MKMK untuk menyelesaikan persoalan ini,” kata dia.
MKMK akan segera bekerja terhitung mulai tanggal 1 Februari 2023 mendatang. Adapun keanggotaan MKMK sebagaimana disepakati dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sesuai UU MK dan Putusan MK yang menyangkut keanggotaan MKMK di dalamnya terdapat 1 orang hakim konstitusi aktif; 1 orang tokoh masyarakat yang memahami hukum dan konstitusi; dan 1 orang akademisi.
Dalam Keanggotaan Dewan Etik sebelumnya hanya terdapat 1 anggota yang masih aktif dari kalangan akademisi yakni Prof Sudjito. Untuk itu, kemudian dipilih Dr. I Dewa Gede Palguna yang merupakan mantan hakim MK dengan pengalaman luas dan berintegritas tinggi untuk terlibat dalam keanggotaan MKMK mewakili tokoh masyarakat. Sedangkan untuk hakim konstitusi aktif ialah Prof Enny Nurbaningsih.
“Bukan karena perkara ini atau isu ini kami segera membentuk MKMK, tapi sesungguhnya telah direncanakan sejak akhir Desember 2022. Karena perkara memang sangat menumpuk sekali, sehingga kami menganggap bisa jadi ini momentum yang dipercepat untuk pembentukan MKMK itu. Insya Allah akan segera terbentuk MKMK dan PMK-nya juga segera kami selesaikan diantara berbagai macam PMK yang sedang dalam proses finalisasi.”
Ia menambahkan SK penunjukan pun akan segera diterbitkan agar MKMK dapat bekerja secepat mungkin. Menyikapi isu ini, pihak MK juga berkeinginan untuk penyelesaian dapat segera tuntas secara terang benderang. Diharapkan publik dapat menyerahkan penanganan isu ini kepada MKMK yang akan bekerja secara independen.
“Dalam waktu dekat, untuk MKMK jelas tanggal 1 Februari sudah mulai bekerja. Insya Allah dalam waktu 30 hari paling lambat sudah menyelesaikan amanat yang dibebankan. Kami berharap dengan dukungan (masyarakat), kami bisa bekerja dengan cepat, tepat, dan Insya Allah bisa memenuhi apa yang harapkan rekan-rekan sekalian,” sambung Ketua MK Prof Anwar Usman dalam kesempatan yang sama.
Hakim Konstitusi Prof Arief Hidayat meminta kesabaran dan pengertian masyarakat yang memantau atas tindak lanjut isu ini. Ia berharap isu ini dapat segera diselesaikan, mengingat yang terpenting adalah bagaimana menjaga kepercayaan publik kepada MK. Terlebih, saat ini MK tengah mempersiapkan diri menghadapi Pemilihan Umum Serentak 2024 berupa Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah yang akan berlangsung tak lama lagi. Selain, menyelesaikan berbagai permohonan pengujian UU yang krusial.
“Kita mohon kesabaran, mohon pengertian, dan mohon dukungan dari publik begitu juga dari masyarakat pemerhati hukum. Khususnya pemerhati MK yang tentu mengharapkan MK dapat menjadi lembaga yang betul-betul mampu menyelesaikan tugas sesuai kewenangan tugas dan fungsinya yang diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” pesan Arief.
Sebelumnya, terdapat pihak-pihak yang bermaksud untuk menempuh upaya hukum administratif yang awalnya direncanakan pada Selasa (31/1/2023) besok. Namun, niat ingin mengajukan upaya hukum adminisratif batal dilakukan setelah MK memutuskan untuk membentuk MKMK.
Advokat Konstitusi Viktor Santoso Tandiasa menerangkan pihaknya menghentikan upaya hukum administratif tersebut. Ia berharap MKMK dapat memiliki kedudukan permanen, sehingga bisa menjadi pengawas Etik dan Perilaku Hakim di lingkungan MK dalam masa waktu yang ditentukan. Terpenting, MKMK diharapkan bisa menguak pelaku perubahan isi putusan dan menerangkan terkait motif tindakan tersebut.
“MKMK juga dapat meminta kepada ketua MK untuk tidak ikut dalam mengadili Perppu No.2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja karena memiliki konflik kepentingan yang sangat jelas,” tutup Viktor, Senin (30/1/2023).
Sebelumnya, Pemohon Putusan MK No.103/PUU-XX/2022, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengatakan ada perbedaan isi putusan ketika dibacakan dengan risalah dan salinan putusannya. “Risalah dan salinan putusannya sama, tetapi ketika dibacakan dalam sidang itu berbeda, yang tadinya tertulis frasa ‘dengan demikian’ menjadi ‘ke depannya’,” kata Zico, Minggu (29/1/2023) kemarin.
Frasa yang diubah tersebut adalah “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya”.
Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di website MK, adalah “Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya”.
Menurutnya, dalam hukum, kedua frasa memiliki makna yang berbeda. Bila putusan menyebut “dengan demikian”, yang saat dibacakan putusannya dua jam setelah Guntur Hamzah dilantik, maka pengangkatan Guntur Hamzah dapat di-cancel dan putusan ini dapat dijadikan bukti ke PTUN yang akan membuat Hakim Konstitusi Aswanto menang (tetap menjadi hakim konstitusi yang sah).
Oleh karena Guntur Hamzah sudah dilantik menjadi hakim konstitusi dan entah siapa yang memiliki kepentingan, kemudian diubah menjadi frasa “ke depan” (agar Guntur tetap sah menjadi hakim konstitusi, red). Padahal, kalau putusan sudah RPH Hakim Konstitusi itu tidak boleh diubah.
“Nah, bila ini diubah entah oleh siapa berarti bukan dari konsensus mayoritas hakim konstitusi. Bila hal ini dilakukan oleh hakim konstitusi berarti sudah penghinaan terhadap kolega-koleganya.”